Mengenal Sejarah Pers

Selamat Hari Pers Nasional!
Setiap tanggal 9 Februari Indonesia merayakan Hari Pers Nasional yang bertepatan dengan Hari Ulang Tahun Persatuan Wartawan Indonesia. Penetapan Hari Pers Nasional yang jatuh pada tanggal 9 Februari ini didasari oleh Keputusan Presiden Nomor 5 tahun 1985.

Pers adalah badan yang membuat penerbitan media massa secara berkala. Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik seperti mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan meyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya. Media yang digunakan oleh pers dapat berupa media cetak, media elektronik, atau segala jenis saluran yang tersedia.

Pers Indonesia dimulai sejak dibentuknya Kantor berita ANTARA didirikan tanggal 13 Desember 1937. Ya, pers memang telah berkembang jauh sebelum negara Indonesia diproklamasikan. Pers bahkan digunakan para pendiri bangsa sebagai alat perjuangan untuk memperoleh kemerdekaan.

Pada dasarnya, sejarah Pers di Indonesia terbagi dalam dua babak, yakni babak pertama yang berlangsung antara tahun 1745-1854 dan babak kedua yang berlangsung antara tahun 1854 hingga Kebangkitan Nasional (1908). Babak pertama dimulai saat Indonesia masih dalam keadaan terjajah oleh kolonialisme Belanda. Pada masa itu, surat kabar masih mutlak dikuasai oleh orang-orang Eropa dan hanya tersedia dalam bahasa Belanda. Kontennya pun, hanya seputar kehidupan orang-orang Eropa dan tidak berkaitan dengan kehidupan masyarakat Indonesia. Kabarnya, koran pertama di Indonesia bernama Bataviasche Nouvelles yang terbit pada bulan Oktober 1744.

Sementara itu, pada babak kedua, mulai bermunculan surat kabar dalam bahasa Jawa dan Melayu. Pada mulanya, surat kabar dengan bahasa pra-Indonesia ini masih dipimpin oleh orang-orang dari peranakan Eropa, namun, menjelang Kebangkitan Nasional, para pekerja pers terutama para redakturnya mulai banyak berasal dari peranakan Tionghoa dan Indonesia (pribumi).

Koran mingguan Medan Prijaji, yang didirikan oleh RM Tirto Adhi Soerjo dan Raden Djokomono pada tahun 1907, kemudian yang mengawali sejarah pers nasional. Penerbitan koran inilah yang pertama kali menggunakan modal nasional dan dipimpin oleh orang Indonesia.

Selain dibagi menjadi dua babak, sejarah pers di Indonesia juga dibagi lagi kedalam 6 periode zaman mulai dari Zaman Belanda, Zaman Jepang, Zaman Kemerdekaan, Zaman Orde Lama, Zaman Orde Baru dan Zaman Refomasi.

1. Zaman Belanda

Seperti yang telah kita ketahui, perkembangan dunia pers di Indonesia diawali sejak masa penjajahan Belanda. Pada tahun 1744, percobaan pertama untuk menerbitkan media massa diawali dengan terbitnya surat kabar pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Van Imhoff dengan nama Bataviasche Nouvelles. Kemudian, pada tahun 1828, Javasche Courant diterbitkan di Batavia (sekarang Jakarta) dan memuat berita-berita resmi pemerintahan, berita lelang, dan berita kutipan dari aktivitas-aktivitas harian di Eropa.

Mesin cetak pertama di Indonesia juga datang melalui Batavia melalui seorang Belanda bernama W. Bruining dari Rotterdam yang kemudian menerbitkan surat kabar bernama Het Bataviasche Advertantie Blad. Pada tahun 1885, di seluruh daerah yang dikuasai Belanda, telah terbit sekitar 16 surat kabar dalam bahasa Belanda dan 12 surat kabar dalam bahasa Melayu seperti Bintang Barat, Hindia-Nederland, Dinihari, Bintang Djohar (terbit di Bogor), Selompret Melajoe, Tjahaja Moelia, Pemberitaan Bahroe (Surabaya) dan surat kabar berbahasa Jawa, Bromatani yang terbit di Solo.

Dengan adanya surat kabar, beberapa pejuang kemerdekaan Indonesia mulai memanfaatkan pers sebagai alat perjuangan. Namun, hal ini dihambat oleh pemerintah Belanda dengan membuat UU untuk membendung pengaruh pers di Indonesia. Pemerintah Belanda mengeluarkan peraturan yang berisi pasal-pasal ancaman hukuman terhadap siapa pun yang menyebarkan perasaan permusuhan, kebencian, serta penghinaan terhadap pemerintah Belanda, sekutu, atau kelompok penduduk Belanda.

2. Zaman Jepang

Saat Jepang masuk dan menguasai Indonesia, surat kabar yang beredar di Indonesia pelan-pelan mulai diambil alih. Salah satunya adalah dengan menyatukan beberapa surat kabar untuk mempermudah dan memperketat pengawasan pemerintah Jepang terhadap isi surat kabar. Konten surat kabar pun kemudian dimanfaatkan sebagai alat propaganda untuk memuji-muji pemerintahan Jepang. Di masa penjajahan Jepang, pers Indonesia sama sekali tidak memiliki ruang kebebasan.

Salah satu surat kabar yang diizinkan terbit pada masa itu adalah Tjahaja. Surat kabar ini sudah menggunakan Bahasa Indonesia dan diterbitkan di Bandung. Kantor berita Tjahaja dipimpin oleh Oto Iskandar Dinata, R. Bratanata, dan Mohamad Kurdi. Meskipun terbit dan beredar di Indonesia, surat kabar ini memberitakan segala kondisi yang terjadi di Jepang.

3. Zaman Kemerdekaan

Ketika pemerintah Jepang menggunakan surat kabar sebagai alat propaganda pencitraan pemerintah, Indonesia juga melakukan perlawanan dalam hal sabotase komunikasi. Edi Soeradi, seorang tokoh pers yang menerbitkan surat kabar Berita Indonesia, melakukan propaganda agar rakyat berdatangan pada Rapat Raksasa Ikada tanggal 19 September 1945 untuk mendengarkan pidato Bung Karno. Beberapa surat kabar yang digunakan sebagai alat perjuangan lainnya adalah Harian Rakyat, Soeara Indonesia, Pedoman Harianyang kemudian berubah nama menjadi Soeara Merdeka(Bandung), Kedaulatan Rakyat(Bukittinggi), Demokrasi (Padang), dan Oetoesan Soematra(Padang).

4. Zaman Orde Lama 

Pers pada masa Orde Lama terbagi menjadi dua periode, yakni periode Demokrasi Liberal dan periode Demokrasi Terpimpin. Pers pada masa Demokrasi Liberal merupakan suatu masa di mana pers di Indonesia mengalami kebebasan yang begitu besar. Setiap orang yang memiliki modal dapat memiliki sebuah surat kabar sehingga bebas untuk mengeluarkan pendapatnya tanpa harus terlebih dahulu mengurus perizinan. Pers pada masa ini umumnya mewakili aliran-aliran politik yang banyak bertentangan bahkan disalahgunakan untuk menebar fitnah, mencaci maki, menjatuhkan martabat seseorang atau keluarga, tanpa memikirkan ukuran sopan-santun dan tatakrama.

Kemudian, Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden tahun 1959 yang membuat Indonesia memasuki sebuah era baru yaitu era Demokrasi Terpimpin. Pada era ini, terdapat larangan terhadap kegiatan politik termasuk pers. Persyaratan untuk mendapat Surat Izin Terbit dan Surat Izin Cetak diperketat hingga kemudian para buruh dan pegawai surat kabar banyak melakukan slowdown atau mogok secara halus. Selain itu, Partai Komunis Indonesia (PKI) juga cukup berpengaruh dalam pemerintahan Indonesia, sehingga berita yang diterbitkan separuhnya bersifat pro-komunis.

5. Zaman Orde Baru 

Pada masa Orde Baru, lahirlah istilah Pers Pancasila, yaitu pers Indonesia dalam arti pers yang orientasi, sikap dan tingkah lakunya didasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945. Hakikat pers Pancasila adalah pers yang sehat, pers yang bebas, dan bertanggung jawab dalam menjalankan fungsinya sebagai penyebar informasi yang benar dan objektif, serta sebagai penyalur aspirasi rakyat dan kontrol sosial yang konstruktif. Namun, masa kebebasan ini hanya berlangsung selama delapan tahun dan semenjak terjadinya peristiwa malari (Malapetaka Limabelas Januari) pada 15 Januari 1974, pers harus kembali seperti zaman orde lama. Dengan peristiwa malari serta beberapa peristiwa lain, beberapa surat kabar seperti Kompas, Harian Indonesia Raya, dan Majalah Tempo dilarang terbit karena pers lagi-lagi dibayangi oleh kekuasaan pemerintah yang cenderung memborgol kebebasan pers dalam membuat berita serta menghilangkan fungsi pers sebagai kontrol sosial terhadap kinerja pemerinta. Pers pasca peristiwa malari cenderung pers yang mewakili kepentingan penguasa, pemerintah atau negara.

6. Zaman Reformasi 

Setelah melewati berbagai periode zaman, Reformasi merupakan masa pencerahan terhadap kebebasan pers setelah runtuhnya rezim Soeharto pada tahun 1998. Titik kebebasan pers mulai terasa lagi saat BJ Habibie menggantikan Soeharto sebagai presiden. Banyak media massa yang muncul dan PWI bukan lagi menjadi satu-satunya organisasi profesi.

Kalangan pers kembali bernafas lega karena pemerintah mengeluarkan UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan UU no. 40 tahun 1999 tentang Pers. Dalam UU tersebut, disebutkan bahwa kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara (pasal 4 ayat 1) dan terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran (pasal 4 ayat 2). Hingga kini, kegiatan jurnalisme diatur dengan Undang-Undang Penyiaran dan Kode Etik Jurnalistik yang dikeluarkan oleh Dewan Pers, walaupun, banyak kegiatan jurnalisme yang melanggar kode etik pers sehingga masih menimbulkan kontroversi di masyarakat.

Nah, itulah sekilas cerita mengenai sejarah pers di Indonesia. Perjalanan pers ternyata banyak menemui hambatan terutama pada masa menjelang kemerdekaan hingga sebelum reformasi. Namun, tak bisa dipungkiri bahwa peranan pers yang begitu hebat menjadikannya sebagai salah satu komponen penting bagi pembentukan kepribadian bangsa. Untuk itu, di era bebas pers ini, ada baiknya Anda lebih cerdas dan berhati-hati memilih tayangan maupun berita yang banyak beredar demi kebaikan kita bersama.

BACA JUGA:

Ketua Dewan Pers, ” Membangun Pers Sama Dengan Membangun Negeri”

Info Publik : (Abd Rahman Tenre)

Leave a Reply