Ironi Hari Pers Nasional 2021

“Gunakan akal sehat untuk mengkaji setiap kalimat yang hendak Anda ucapkan, di dalam hati. Setelah itu, dorong pelan, dan keluarkan dari rongga mulut”.

Ungkapan filsuf Yunani Epictetus yang lahir pada tahun 60 Masehi dan meninggal pada 138 Masehi ini agaknya memiliki benang merah dengan pekerjaan seorang jurnalis. Epictetus menekankan pentingnya etika moral.

“Manusia hendaknya memeriksa perilakunya masing-masing dalam hal hubungannya dengan pihak lain agar tidak merugikan orang lain,” filsuf yang hidup di Roma hingga dibuang sebagai budak ini berkata.

Masih hangat aroma peringatan Hari Pers Nasional (HPN) 2021, Sulawesi Selatan dihebohkan oleh berita penangkapan salah seorang wartawan media daring di Makassar.

Kasusnya, wartawan tersebut memberitakan masalah anggaran yang dikelola pemerintah Kabupaten Enrekang. Pihak pemerintah daerah telah melaporkan wartawan yang bersangkutan ke polisi dengan delik pencemaran nama baik.

Aparat keamanan pun langsung bertindak dan “mengamankan” yang bersangkutan.

Pada prinsipnya, apa pun alasannya penangkapan terhadap wartawan adalah tindakan yang tidak dapat ditoleransi. Wartawan bekerja di bawah perlindungan undang-undang (UU No.40/1999 tentang Pers) dan Peraturan Daerah dan Peraturan Rumah Tangga, Kode Etik Jurnalistik (KEJ), dan Kode Perilaku Wartawan (KPW) Persatuan Wartawan Indonesia (PWI).

Pertanyaannya kemudian, apakah sang wartawan tersebut sudah bernaung di bawah suatu organisasi wartawan yang direkomendasikan pemerintah cq. Dewan Pers?

Saya perlu mengingatkan supaya organisasi profesi ini jangan menghabiskan waktu untuk membela seseorang yang ternyata belum paham akan aturan permainan profesi ini atau baru sehari menjadi wartawan sehingga abai terhadap KEJ.

Penangkapan wartawan tersebut juga bertepatan selain dengan HPN itu tadi, juga kunjungan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo. Jadilah berita penangkapan sang wartawan seolah merujuk kepada kedua peristiwa itu langsung atau tidak langsung.

Dalam catatan saya, kasus penangkapan wartawan seperti ini juga pernah terjadi di Sulawesi Tenggara bertepatan dengan HPN 2019. Kasusnya berkaitan dengan pemberitaan yang menyangkut seorang bupati.

Secara sepintas lalu, fenomena kasus itu yang secara kebetulan merujuk pada kedua peristiwa tersebut, selalu mengandung “pesan” terselubung dari catatan analisis wacana kritis.

Ini penting kita pahami agar selalu melihat dari sisi yang komprehensif jika terjadi sesuatu. Kita tidak boleh langsung serta merta menyalahkan si ini dan si itu.

Ironis HPN
Pertama, berkaitan dengan HPN kasus wartawan berurusan dengan aparat keamanan jelas menitip sebuah pesan bahwa para wartawan harus melakukan introspeksi diri secara internal di dalam dirinya.

Apa yang salah ketika seorang wartawan sedang menjalankan tugas jurnalistiknya hingga terjadi kasus seperti ini. Sudahkah sang wartawan menaati kode etik jurnalistiknya ketika melakukan peliputan dan menulis berita?

Berdasarkan pengamatan saya terhadap pemberitaan media daring dan media cetak, masih banyak ditemukan adanya berita yang diturunkan justru abai terhadap Kode Etik Jurnalistik (KEJ). Pasal yang paling banyak dilanggar adalah pasal 5 KEJ yang berkaitan dengan penyajian berita yang berimbang. Maksudnya, sebelum berita itu diturunkan, terutama yang berkaitan dengan berita kontrol terhadap suatu pihak, hendaknya dikonfirmasi atau harus dilakukan “both side coverage” (peliputan kedua sisi) dulu kepada pihak yang berkompeten.

Konfirmasi ini dimaksudkan agar berita tersebut berimbang. Hanya saja dalam realitasnya, banyak teman wartawan memberitakan dulu suatu informasi tanpa melakukan konfirmasi ke pihak yang ada hubungannya dengan berita tersebut.

Prinsipnya, diberitakan dulu dan setelah itu dikonfirmasi. Praktik seperti ini tidak bersesuaian dengan tuntutan KEJ. Berita dan konfirmasi demi keberimbangan berita harus disiarkan bersamaan dalam satu berita.

Saya selalu tekankan dan ingatkan pada teman-teman atau pun saat membawa materi (kuliah) jurnalistik, praktik abai konfirmasi seperti ini menabrak KEJ. Dampaknya dapat membahayakan sang wartawan itu sendiri.

Selain melanggar rambu-rambu aturan (kode etik jurnalistik) pelaksanaan kegiatan profesional, juga berpotensi menimbulkan kekerasan terhadap sang wartawan, termasuk diganjar delik pers. Kekerasan atau delik itu terjadi ketika sang wartawan mencoba mengonfirmasi setelah berita pertama dimuat tanpa konfirmasi, bisa saja menimbulkan rasa tidak puas pihak yang hendak dikonfirmasi. Dia bisa beranggapan, “ngapain” dikonfirmasi toh beritanya sudah dimuat.

Saat ini orang sudah cerdas. Meskipun mungkin seorang narasumber tidak pernah mengikuti atau berlatar belakang seorang jurnalis, tetapi dengan kemudahan mengakses informasi memanfaatkan teknologi, mereka bisa belajar. Menemukan rambu-rambu yang dilanggar oleh wartawan dalam melaksanakan tugas jurnalistiknya.

Gejolak psikologis narasumber seperti inilah yang saya khawatirkan terjadi hingga menimbulkan anarkisme terhadap wartawan. Dan boleh jadi, inilah penyebab yang ditengarai berujung pada kekerasan terhadap wartawan. Apalagi dengan kondisi sosial budaya masyarakat Sulawesi Selatan, para wartawan harus paham betul pengaruhnya terhadap kegiatan profesi jurnalistik.

Jadi, berkaitan dengan “kasus Enrekang” (penangkapan wartawan tersebut) yang dicari dulu adalah penyebabnya. Kita simak dan teliti berita yang ditulis yang bersangkutan.

Sudahkah terpernuhi tuntutan KEJ di dalamnya, terutama berkaitan dengan pasal-pasal yang mengaturnya (pasal 3 – tentang tulisan yang memutar balik fakta, bohong, fitnah, dll –, 5 – penyajian berita berimbang, tidak mencampuradukkan fakta dan opini –, 7 – menguji kebenaran informasi dan penyajian yang berimbang – 10 – wartawan harus dengan sadar memperbaiki, meralat, atau memberikan hak jawab –,dan pasal 15 – wartawan harus sungguh-sungguh menaati KEJ PWI).

Ketika seorang wartawan melanggar KEJ berupa lalai mengonfirmasi kepada seseorang narasumber yang seharusnya memberikan informasi agar berita berimbang, di sini yang berlaku adalah sanksi yang diberikan oleh pemimpin media tersebut. Bentuknya berupa sanksi moral, peringatan, hingga pemecatan.

Tetapi sanksi ini akan menjadi ambigu dan aneh karena pemimpin media (terutama daring) terkadang juga wartawan yang menulis berita tersebut. Jadi, mustahillah sang pemimpin media daring itu memberi sanksi terhadap dirinya sendiri.

Kelalaian tanpa konfirmasi berita sesuai tuntutan KEJ ini tidak dapat dilakukan dengan memberikan hak jawab karena narasumber yang bersangkutan belum memberikan keterangan dan wartawan menulis informasi sepihak.

Langkah inilah yang selalu dianggap oleh teman-teman wartawan sebagai ruang hak jawab, padahal bukan. Hak jawab itu ideralnya diberikan jika keterangan narasumber tersebut salah diinterprestasi oleh sang wartawan di dalam pemberitaannya dan harus diluruskan. Jika narasumber yang merasa dirugikan itu bersedia dikonfirmasi untuk pemberitaan kedua, barulah terpenuhi unsur hak jawab. Tetapi selama ini dan dalam praktiknya, narasumber terlanjur “murka”.

Kunjungan Kapolri

Yang dapat disimak dari kaitan kunjungan Kapolri ke Sulawesi Selatan dengan penangkapan wartawan tersebut, meskipun boleh saja secara kebetulan, tetap saja mengandung pesan tersembunyi. Paling tidak aparat keamanan telah memperlihatkan “prestasi” kepada atasannya, meskipun mereka lupa bahwa ada “memorandum of understanding” (MoU) antara Dewan Pers (waktu itu Prof.Dr.Bagir Manan) dengan Kapolri (kala itu Jenderal Pol.Drs. Timur Pradopo) bertepatan dengan HPN 9 Februari 2012 dan Dewan Pers-Kepolisian Negara Republik Indonesia yang diperbaharui 22 Maret 2017, Mou Dewan Pers dengan Kompolnas (3 Februari 2021).

Dewan Pers sebagai representasi lembaga pers nasional juga telah menandatangani MoU dengan Ditjen Aplikasi Informatika Kominfo (pada tanggal 12/4/2019), Dewan Pers dengan Kejaksaan (9/2/2019), Dewan Pers dengan Kemendagri (29/11/2017), MoU Dewan Pers-Tentara Nasional Indonesia (TNI) (25/9/2017),
Meskipun ada MoU di pucuk atas sutau lembaga, biasanya aparat di strata bawah mungkin belum pernah mendengar ada MoU ini karena tidak adanya sosialisasi berstruktur. Di sinilah perlu ada kerja sama PWI dengan Polri secara berjenjang dalam kaitan dengan sosialisasi isi MoU itu.

Butir-butir MoU ini memang sudah didesak agar direvisi. Poin-poin penting isi MoU itu di antaranya, untuk meningkatkan kualitas penyelidikan, penyidikan, dan penyelesaian dugaan tindak pidana akibat pemberitaan pers dan penjelasan mekanisme pemberian bantuan Dewan Pers kepada Polri terkait dengan pemberian keterangan ahli.

Jika ada pemberitaan pers harus diselesaikan dengan UU No.40/1999 tentang Pers sebelum diterapkan peraturan-peraturan lainnya. Jika polisi menerima laporan /pengaduan masyarakat terkait dengan pemberitaan pers dalam proses penyelidikan dan penyidikan berkonsultasi dengan Dewan Pers. Dewan Pers memberikan kajian dan saran (pendapat secara tertulis) kepada Polri bahwa pemberitaan semata-mata melanggar KEJ.

Komite Keselamatan Jurnalis Aliansi Jurnalis Independen (KKJ-AJI) dalam rilisnya 17 Agustus 2019 mendesak diubahnya MoU Dewan Pers dengan Polri tersebut. Dalam pernyataan sikapnya KKJ mendesak Kapolri dan Kapolda Metro Jaya menindak tegas anggotanya yang terbukti melakukan kekerasan dan penghalangan jurnalis yang melaksanakan kegiatan jurnalistik. AJI mencatat sedikitnya 20 wartawan yang menjadi korban kerusuhan pada tanggal 21-22 Mei 2019 dari massa maupun polisi.

Dalam pernyataannya KKJ AJI juga mendorong perusahaan pers aktif menangani kasus kekerasan yang menimpa jurnalisnya sebagai bagian dari tanggung jawab memutus impunitas (keadaan tidak dapat dipidana, nirpidana) pelaku kekerasan.

Sebenarnya, permasalahan yang selalu krusial (penting/esensial memecahkan masalah) adalah bagaimana setiap pelanggaran yang berkaitan dengan pemberitaan tidak serta merta diganjar dengan pasal-pasal Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), tetapi harus dikaitkan dengan UU No.40/1999 tentang Pers dan peraturan yang terkait (PD/PRT,KEJ, KPW) dengan profesi jurnalistik.

Persoalan yang sama justru terus berulang. Delik ini biasanya muncul karena keteledoran wartawan sendiri yang melanggar KEJ. Jadi kita harus melaksanakan tugas sesuai dengan tuntunan dan KEJ. Selama ini tidak ditaati, peristiwa yang sama akan terus terulang lagi.
Saya kira, persoalan kekerasan terhadap jurnalis (kecuali dalam kasus-kasus khusus seperti demo dan kerusuhan yang tentu saja memerlukan perlakuan yang khusus) penyebabnya itu-itu juga. Terkait dengan pemberitaan yang tidak membuat nyaman narasumber.

Ketidaknyamanan ini tak perlu terjadi kalau sang wartawan mau meluangkan sedikit waktu melakukan konfirmasi.

Kini, kasus wartawan dengan Pemkab Enrekang. Yang repot, Pemkab Enrekang menggiring sang wartawan juga ditengarai melanggar UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) karena yang bersangkutan menyiarkan berita itu melalui media daring. Wah, kalau begini, urusannya menjadi panjang. Makanya, teman-teman, biar aman dari delik pers, “bertobatlah”. Taati rambu-rambu kerja profesi kita. KEJ itu.

Begitulah saat Hari Pers Nasional diperingati selalu saja diikuti “dayang-dayang” berita tidak sedap menimpa insan pers. Belum lagi kisah tak sedap menimpa organisasi profesi ini yang tak kunjung hilang. Wassalam. (*).

Ironi Hari Pers Nasional 2021
Catatan M.Dahlan Abubakar (TokohPers versi Dewan Pers)

 

 

Leave a Reply