Senin (29/3/2021) sore, sehari setelah bom diledakkan oleh pengebom bunuh diri di salah satu pintu masuk Gereja Katedral Jl. Kajaolalido, Makassar, Ahad (28/3/2021),
tiba-tiba saja muncul niat saya melakukan olahraga ringan, berjalan ke kaki ke lokasi itu. Padahal biasanya, dua hari sekali, saya berolahraga di bagian dalam kantor KONI Sulawesi Selatan Jl. Sultan Hasanuddin 42 Makassar, tempat saya menghabiskan banyak waktu pascapurnabakti.
Olahraga di sekitar kantor ini berupa berjalan kaki kira-kira 100 m satu kali putaran.
Saya memilih cukup 10 kali memutar, mengitari pinggir luar lantai bawah kantor peninggalan Departemen Penerangan Provinsi Sulawesi Selatan tersebut.
Untuk memudahkan jumlah putaran yang sudah diselesaikan dihitung, saya meletakkan 10 batu kecil di lantai patung “Rimau”, logo PON XVI/2004 Sumatera Selatan yang sudah 16 tahun lebih “menghuni” kantor KONI Sulsel.
Setiap kali menyelesaikan satu putaran saya memindahkan satu batu ke bagian lainnya yang masih kosong.
Usai menyelesaikan jalan kaki 10 putaran, saya masuk ke ruang fitnes memilih beberapa alat fitnes yang biasa dipakai para atlet. Tetapi saya selalu mengatur bebannya untuk kategori lanjut usia (lansia). Ya, saya berolahraga hanya untuk menjaga kebugaran saja agar tetap fit, mengimbangi terlalu banyak duduk, baik di kantor KONI maupun di rumah.
Alat pertama adalah mengangkat batang besi, mungkin beratnya 10 kg. Alat ini awal-awalnya saya angkat dengan hitungan sampai 100 kali. Terakhir ini, saya cukup hingga hitungan 50.
Alat kedua, yang sifatnya ditarik dengan beban tertentu. Mungkin beban yang biasa saya “tarik” beratnya sekitar 5 kg. Hitungan untuk jenis gerakan yang ini, awal-awalnya juga hingga 100. Tetapi terakhir, saya memutuskan cukup hingga hitungan 50.
Alat ketiga, juga masih beban, namun lebih untuk menggerakkan oto tubuh. Alat ini digunakan dengan cara duduk dan saya mendorong bantalan busa yang merupakan lengan (kiri kanan) alat ini dan mulai menggerakkannya maju mundur.
Pada awalnya, saya mampu mencapai sampai hitungan 100 dengan intensitas beban mungkin sekitar 5 kg. Terakhir, saya kurangi menjadi hingga hitungan 50.
Setelah menyelesaikan empat model gerakan tersebut, lumayan saya berkeringat.Saya kembali ke meja kerja di sebelah kiri pintu masuk kantor dan mulai mengerjakan yang dapat dilakukan.
Biasanya, menengok pesan di gawai atau melanjutkan menulis jika masih ada tulisan yang belum tuntas sebelum berolahraga atau memberikan disposisi terhadap surat-surat masuk. Pekerjaan mendisposisi ini saya lakukan dalam kapasitas pelaksana tugas setelah Sekretaris Umum KONI Sulsel dirawat di rumah sakit.
Dijaga ketat
Mengenakan sepatu olahraga warna merah dengan celana pendek drill warna cokelat dan kaos nilon berlogo KONI, saya menyeberangi Jl. Sultan Hasanuddin di depan kantor. Setelah tiba di sebelah, saya terpaksa harus kembali menyeberang ke kantor lagi karena lupa membawa masker.
Ya, begitulah masker kerap membuat saya selalu kembali ke rumah atau ke kantor.
Dari Jl. Sultan Hasanuddin, saya menyusuri jalan sebelah kanan, dan berbelok pada potongan Jl.Chairil Anwar (di selebah barat Jl. Kajaolalido selatan).
Rencananya, saya akan menyusuri pinggir jalan Kajaolalido sebelah barat hingga di depan Gereja Katedral, tempat kejadian peristiwa (TKP) bom meledak Ahad pukul 10.20 Wita itu.
Setelah menyeberangi potongan Jl. Ince Nurdin (di sebelah barat Jl. Kajaolalido), saya terus menyusuri tepi barat jalan tersebut hingga di depan Kantor Golkar Sulsel. Saya berhenti dan memutuskan menyeberang ke sebelah timur jalan ini karena dari jauh tampak begitu banyak polisi berseragam hitam dengan senjata di tangan, berjaga-jaga di dekat pintu selatan gereja.
Di pojok pagar Kantor Golkar di Jl. Amanna Gappa, saya menyeberang ke utara, kian mendekat ke dekat TKP. Puluhan polisi, tentara, dan warga berbaur di sisi timur Jl. Kajaolalido di depan Hotel Singgasarana, hotel yang hanya diantarai oleh Jl.Thamrin dengan pagar selatan gereja.
Sebuah warung kopi (mungkin juga baru ada setelah kejadian), dipenuhi oleh polisi dan tentara bersenjata.
Saya memutuskan terus berjalan dengan target berhenti di ujung Jl. Kartini (barat pada sisi utara) yang tepat ada di depan gereja, Di sini, akhir perjalanan olahraga sore saya hari itu. Saya pun berbaur dengan tentara dengan senjata lengkap, polisi yang berpakaian preman, dan warga.
Di posisi ini, saya berpikir akan banyak memperoleh informasi dari cerita-cerita mereka yang berada di sekitar TKP saat peristiwa terjadi.
Pertama saya bertemu dengan dua orang perempuan setengah baya. Salah seorang dari hasil-hasil bincang-bincang dengan saya mengaku memiliki seorang anak yang pernah dimintakan legalisasi fotocopy piagam penghargaannya untuk kepentingan tertentu di kantor KONI Sulsel.Saya lama bercerita dengan ibu berkulit putih dan berkacamata ini pemandangan sore itu padat.
Pengamanan sangat ketat ditandai banyaknya tentara dan polisi yang berjaga-jaga. Arus lalu lintas pada pertigaan (Jl. Kajaolalido dan ujung barat Jl. Kartini yang hendak membelok ke selatan) sangat padat. Yang dari arah utara Jl. Kajaolalido terpaksa dihentikan sementara untuk memberi kesempatan yang datang dari arah Jl. Kartini.
Ternyata pada hari itu memang ada kunjungan dari sejumlah orang penting. Satu-satunya yang bisa saya kenali hanyalah Wali Kota Makassar Mohammad Ramdhan “Danny” Pomanto yang melintas di depan saya berdiri dan mengenakan baju batik lengan pendek warna cokelat disertai masker.
Ternyata, di bagian dalam gereja ada pertemuan para pihak membahas penanganan kasus ini. Ketika harus mulai gelap, saya melihat tiga orang dari salah satu agama meninggalkan halaman gereja dan menaiki sebuah mobil warna putih yang kebetulan paling depan di ujung Jl. Kartini.
Beberapa menit sebelumnya, seorang perempuan yang diperkirakan berusia sekitar 60-an tahun bercerita. Dia menjelaskan, saat bom meledak, seperti biasa sedang melayani orang yang minum kopi di warungnya, sekitar 50 meter dari titik ledakan, tetapi agak ke dalam, beberapa meter dari Jl. Kartini sebelah utara (kanan).
“Pantat saya terangkat ketika ledakan itu terjadi. Saya kira tsunami karena pernah ada teman yang bercerita tentang tsunami,” kata perempuan yang kemudian saya ketahui namanya, Ny.Sumarni.
Ibu Sumarni juga menyaksikan segumpal besar daging pelaku bom bunuh diri yang terlempar, di sekitar tempat kami berdiri, di sebelah kanan hampir di ujung Jl. Kartini. Seorang pria lain yang berdiri sekitar 50 meter dari titik ledakan, tepat di tepi selatan (kiri) Jl. Kartini juga mengisahkan hal yang sama.
“Coba lihat ini bekasnya yang hitam,” kata seorang pria sambil menunjuk garis hitam panjang yang bersumber dari titik ledakan ke lokasi gumpalan daging itu “mendarat”.
Garis hitam bekas “gumpalan” itu meluncur belum hilang karena sejak kejadian hingga saya menyaksikannya, hujan juga belum turun.
Seorang tentara dari Kodim 1408/BS dengan senjata terselempang juga menunjuk titik-titik bekas gumpalan daging yang tersisa pada satu tiang. Tiang itu diduga keras “dihantam” gumpalan tersebut sebelum terjatuh di lantai beton trotoar.
Tidak lama muncul pula seorang laki-laki lain dengan cerita yang kalah seru. Sambil menyulut rokoknya, pria yang rasanya pernah bertemu dengan saya di sebuah warung kopi tersebut memiliki informasi yang banyak.
Ternyata, informasi itu dia justru ketahui dari media sosial. Tetapi yang menarik dari kisahnya, ada seorang tukang becak yang mangkal di pojok Jl. Kartini-Jl. Kajaolalido (sebelah selatan, kiri) ketika melihat ‘gumpalan” tersebut disangkanya dari jenis daging sapi.
“Apa daging sapi, ini daging dari yang ‘lappok”(ledakan),”kata pria tersebut menirukan ucapannya kepada tukang becak tersebut.
Mau Masuk Gereja
Pelaku bom bunuh diri adalah pasangan suami istri Muhamad Lukman HS (28) dan Yogi Syahfitri Fortuna alias Dewi. Sang suami berasal dari Kelurahan Pallantikang Kecamatan Baru Kabupaten Maros. Dia sejak usia 5 tahun ditinggal mati oleh ayahnya. Sejak kecil sulung dari dua bersaudara ini tinggal di Makassar.
Lukman sempat melanjutkan kuliah, tetapi tidak disebutkan perguruan tinggi mana. Menurut ketua RW di Jl. Tinumbu Kelurahan Bunga Ejaya Kecamatan Bontoala Makassar, tempat tinggal almarhum, dia jarang bergaul dan setelah berhenti kuliah selalu pulang malam. Perilakunya pun berubah, Dia sudah berani menegur ibunya saat terlihat sedang membaca barajanzi. Dia juga tidak mau dilarang.
Perubahan mencolok terjadi ketika Lukman menikahi Dewi enam bulan silam. Pernikahannya dilakukan oleh seorang bernama Risaldi, tersangka teroris yang tewas saat hendak ditangkap di Villa Mutiara Makassar Januari 2021.
Usai pernikahan, pengantin baru meninggalkan rumah ibunya dan mengontrak di Jl Tinimbu.
EM, ibu dari Dewi mengatakan, menantunya itu menjual mie secara daring dan suaminya membantu mengantar pesanan ke alamat para konsumennya.
“Saya tidak menyangka kalau putri saya yang meninggal dalam aksi bom bunuh diri itu,” kata EM ketika mengetahui berita bom bunuh diri itu. Dia sendiri sudah tidak berkomunikasi lagi dengan anaknya setelah menikah.
Risaldi yang menikahkan Lukman dan Dewi merupakan anggota kelompok Jamaah Ansharul Daulah (JAD) yang pernah melaksanakan operasi di Jolo Filipina pada tahun 2012.
Ahad (28/3/2021) pagi, Lukman mengenakan sorban warna lurik dengan baju cokelat muda tanpa mengenakan helm, menunggang sepeda motor DD 5948 MD membonceng istrinya yang mengenakan cadar warna hitam. Menjelang insiden terjadi, keduanya mencoba masuk ke halaman Gereja Katedral, tempat para jemaatnya sedang menunaikan Misa Palma dipimpin Uskup Agung Makassar, Johannes Liku Ada. Pintu utama gereja tertutup, tetapi pasutri ini mengalihkan perhatian dengan memasuki halaman gereja melalui pintu bagian selatan, hampir di dekat pojok Jl. Kajaolalido-Jl.Thamrin.
Hari itu, gereja menggelar lima kali misa, yakni pada pukul 06.00, 08.30, 11.00, 16.00, dan pukul 18.30. Uskup Agung sudah menuntaskan misa kedua yang berlangsung selama 1 jam 24 menit 30 detik. Menjelang Pukul 10.00, misa kedua selesai. Di ujung misa, seperti dilaporkan media daring, Uskup Agung memberkati jemaat yang menghadiri misa dengan tetap mengikuti protokol kesehatan.
Di luar gereja, di balik pintu gereja bagian selatan, beberapa menit setelah misa kedua selesai, Kosmos, petugas sekuriti gereja, mengadang pasutri yang mengenakan kendaraan bermotor itu.
Terjadi dialog singkat keduanya. Kepada Kosmos Lukman mengatakan ingin masuk ke dalam gereja. Tetapi Kosmos bertahan dan bergeming. Dia sama sekali tidak mengizinkan pengendara sepeda motor tersebut melanjutkan keinginannya.
“Mengapa orang berpakaian seperti ini mau masuk gereja,” Kosmos membatin dan tak lama kemudian ledakan pun terjadi.
Kosmos terluka di beberapa bagian badannya. Ledakan yang terbilang “high explosive” (berdaya ledak tinggi) tersebut menghancurkan tubuh pasangan suami istri ini dan sepeda motornya hangus terbakar. Bagian tubuh keduanya “beterbangan” dan berserakan terpisah di beberapa tempat.
“Potongan kepala Lukman ditemukan di atap satu bangun kecil di sebelah selatan pintu tempat keduanya merangsek masuk ke halaman gereja. “ Kombes Pol. E.Zulvan, Kabid Humas Polda Sulsel berkata kepada wartawan, Ahad (28/3/2021).
Sebagian lagi “meluncur” memotong jalan dan “terkapar” di atas trotor sebelah kanan Jl. Kartini setelah terbentur pada satu tiang yang adai di sana.
Ledakan yang terjadi tepatnya pada pukul 10.28 tersebut mencederai sedikitnya 19 warga yang sedang melintas di depan gereja. Mereka sudah dilarikan ke beberapa rumah sakit, di antaranya RS Akademis, RS Stella Maris, RS Pelamonia, RS Siloam, dan RS Bhayangkara.
Akan halnya dengan “serpihan”tubuh pasangan suami istri ini disemayamkan di Ruang Forensik Biddokkes Polda Sulsel untuk kepentingan identifikasi. Di ruang mayat Biddokkes Polda Sulsel pulalah jenazah keduanya disemayamkan sebelum dimakamkan.
Laporan Inews menyebutkan, Senin (29/3/2021) petang dikawal ketat Kepolisian dan Satuan Brimob Polda Sulsel bersenjata lengkap, jenazah pasutri ini yang dimasukkan ke dalam peti mati diserahkan kepada keluarganya setelah diidentifikasi pihak Forensik Biddokkes Polda Sulsel. Jenazah sebelumnya disalatkan pihak keluarga di ruang mayat Biddokkes Polda Sulsel.
Laporan media daring menyebutkan, jenazah pasangan pengantin bom ini dimakamkan ke dalam satu liang. Air setinggi mata kaki karena hujan turun sekitar 30 menit sedikit mengganggu kelancaran pemakaman menjelang jenazah dikuburkan. Isak tangis menyertai peti mati saat diturunkan ke liang lahad Pemakaman Umum Kampung Data Kelurahan Pallantikang Kecamatan Baru Kabupaten Maros, kampung halaman mendiang ayah Lukman.
“Pallantikang memang kampung halaman orang tua Lukman,” Kompol M.Jazardin, Kabag Ops Polres Maros berkata kepada awak media.
Halaman gereja Katedral Senin sore padat oleh warga yang hendak melihat dari dekat lokasi ledakan bom itu di tengah penjagaan ketat aparat polisi dan tentara bersenjata lengkap. Tidak tahu, hingga kapan warga berdatangan ke TKP ledakan itu?
( Laporan: M.Dahlan Abubakar).