Jurnal8.com|Jagat Pers Indonesia berduka. Jurnalis Mara Salem Harahap alias Marsal Harahap, ditemukan tewas dengan luka tembak dan bersimbah darah di tubuhnya, Sabtu (19/6/2021) dinihari. Dia ditemukan tak bernyawa tidak jauh dari kediamannya di Hutan VII Nagori Karang Anyar, Kecamaran Gunung Maligas, Kabupaten Simalungun Sumatera Utara.
Almarhum merupakan Pemimpin Redaksi lassernewstoday.com di Sumatera Utara. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Medan mencatat, lassernewstoday yang dipimpin almarhum termasuk cukup kritis memberitakan isu sensitif di wilayah tersebut. Di antaranya memublikasikan berita terkait dugaan penyelewengan di PTPN yang melibatkan pejabat di wilayah tersebut. Juga memberitakan peredaran narkoba dan judi di Kota Siantar dan Kabupaten Simalungun, serta maraknya bisnis hiburan malam yang diduga melanggar aturan.
Tindakan kekerasan terhadap wartawan merupakan pelanggaran terhadap kebebasan pers di Indonesia dan pekerja pers dalam menjalankan tugasnya dilindungi oleh undang-undang. Pasal 8 UU Pers No. 40 tahun 1999. Kebebasan pers merupakan amanat reformasi pada tahun 1998.
Pembunuhan terhadap Marsal Harahap ini mengingatkan kita akan kasus serupa yang menimpa Fuad Muhammad Syafruddin alis Udin 13 Agustus 1996. Seperti diberitakan kembali oleh tirto.id., pada malam 13 Agustus 1996, usai menyelesaikan pekerjaannya, Udin bergegas pulang. Jam menunjukkan pukul 21.30.Raut wajahnya tampak tegang dan gelisah ketika menghidupkan sepeda motornya, Honda Tiger 2000 warna merah hati.
Nasib buruk tak disangka menimpa Udin. Tak lama setelah menginjakkan kaki di rumah, Udin diserang pria tak dikenal. Ia dipukul, kepalanya dihantam, dan perutnya disodok dengan besi. Udin pun terluka parah serta tak sadarkan diri. Ia dibawa ke RSU Jebugan Bantul sebelum akhirnya dipindahkan ke RS Bethesda Yogyakarta untuk menjalani perawatan intensif.
Tiga hari kemudian, pihak RS Bethesda memberi kabar: nyawa Udin tak tertolong. Upaya operasi nyatanya tak mampu menghentikan pendarahan hebat di kepalanya.
Meninggalnya Udin adalah gambaran betapa brutalnya rezim Orde Baru yang tak menghargai nyawa manusia. Udin tewas tanpa tahu siapa yang membunuhnya dan apa motif di belakangnya.
Melawan Tiran “Mas Udin selalu bilang, kalau memang ada kesalahan, ya, harus diberitakan sesuai fakta, memang begitu kerjanya wartawan,” kata Marsiyem, istri Udin, kepada Rappler Indonesia pada 2015 silam.
Kebebasan berisiko
Pembunuhan terhadap Marsal Harahap maupun Fuad Muhammad Syafruddin apapun alasannya tidak dibenarkan. Wartawan bekerja di bawah lindungan UU Nomor 40/1999 Tentang Pers. Dan, kasus yang menimpa keduanya dapat dipastikan terkait dengan berita-berita kritis yang ditulis oleh korban.
Berita kritis di dalam kategori nilai berita (news value) dapat dikategorikan berita konflik dan sesuatu yang menegangkan. Para pekerja pers menempatkan berita seperti ini sebagai kontrol sosial guna mamenuhi fungsi keempat pers, selain menginformasikan, mendidik, dan menghibur.
Dalam beberapa kesempatan formal (saat pendidikan jurnalistik atau pun di depan mahasiswa di kampus) maupun dalam diskusi-diskusi nonformal saya selalu mengatakan bahwa kebebasan pers sangat berisiko bagi kebebasan sang wartawan.
Kritik sosial yang selama Orde Baru “dimatikan” dan dikubur “hidup-hidup”, menemukan ruang yang sangat lapang dengan hadirnya era reformasi. Bahkan dengan hadirnya reformasi, pers menikmati bulan madu kebebasan yang tiada akhir.
Di balik kebebasan yang dinikmati pers sekarang ini, saya selalu mengkhawatirkan adanya kebebasan lain yang tidak terkendali di luar ranah insan pers, yakni masyarakat.
Jika pada masa Orde Baru, penguasa dianggap sebagai pihak yang mematikan, kini di era reformasi justru datang dari masyarakat, terutama mereka yang tidak puas dengan pemberitaan pers.
Yang paling berisiko dan rentan dengan tindakan desktruktif pihak eksternal pers adalah ketika individu atau pihak yang merasa tersengat oleh pemberitaan pers adalah komunitas yang dikenal temperamental. Saya menempatkan Sumatera Utara termasuk salah satu daerah yang masyarakatnya masuk dalam kategori ini selain, Sulawesi Selatan, atau Sumatera Selatan.
Oleh sebab itu, para pekerja pers sejatinya harus memahami budaya dan karakter masyarakat tempat mereka berkiprah. Pemahaman akan budaya dan karakter ini menjadi penting dalam kaitannya dengan tuntutan taat asasnya pekerja pers mematuhi kode etik jurnalistik, terutama berkaitan dengan “cover both side” (peliputan kedua sisi atau konfirmasi) sebagaimana tercantum pada pasal 5 Kode Etik Jurnalistik dan penafsirannya bahwa “Wartawan harus menyajikan berita secara berimbang dan adil, mengutamakan ketepatan dari kecepatan serta tidak mencampuradukkan fakta dan opini”.
Penafsiran yang dimaksudkan berita secara berimbang dan adil ialah menyajikan berita yang bersumber dari berbagai pihak yang mempunyai kepentingan, penilaian, atau sudut pandang masing-masing kasus secara proporsional.
Analisis Berita Kritis
Terkait kasus pembunuhan almarhum Marsal Harahap, sangat boleh jadi bersumber dari sejumlah berita sensitif dan kritis yang diturunkan media daring yang dipimpin almarhum. Nama media yang almarhum pimpin dan juga data uji kompetensinya, saya tidak temukan di laman Dewan Pers.
Melihat begitu kerasnya kejahatan kriminal terhadap almarhum tersebut, saya mencoba membuka laman media yang dipimpin almarhum, lassernewstoday.com. Ada empat berita sensitif dan kritis yang saya ambil secara acak dari sejumlah berita yang diturunkan media almarhum. Berita-berita tersebut, pertama, pada tanggal 18 Juni 2021 (satu berita), kedua dan ketiga dimuat pada tanggal 17 Juni 2021, dan keempat dimuat pada tanggal 16 Juni 2021.
Pada berita pertama, media almarhum mengkritik peredaran pil ekstasi di sebuah taman hiburan malam yang disebutkan lengkap namanya. Judul berita ini sangat bombastis karena meminta pejabat Kapolresta setempat memberantas peredaran barang haram tersebut. Dengan judul yang agak provokatif itu, berita diturunkan tanpa ada konfirmasi dari pejabat Kapolresta. Berita bersumber dari seorang narasumber anonim.
Pada berita kedua, berkaitan dengan pengangkatan tenaga ahli bupati setempat. Media menempatkan akademisi dan praktisi hukum mengomentari berita tersebut tanpa ada konfirmasi dari pihak bupati atau pemerintah daerah setempat.
Berita ketiga, berjudul “Dinilai Tak Tertib Mengelola Pendapatan Retribusi TA 2000, Copot Kepala UPTD…dstnya”. Sumber informasi berita ini berasal dari seorang pengamat masalah anggaran dan Ombusman provinsi, juga tanpa ada konfirmasi dari pemerintah setempat. Judul berita tersebut ternyata simpulan media berdasarkan keterangan narasumber-narasumber tersebut. Semula saya menduga, kalimat judul berita itu merupakan tindakan bupati daerah itu. Ternyata simpulan dari komentar para narasumber.
Berita keempat, “Diduga terlibat ‘investasi bodong’ Rp 56 miliar GEMAPS Laporkan Oknum Anggota DPRD …berinisial ..”. Berita ini berdasarkan keterangan dari narasumber anggota LSM. Tanpa ada konfirmasi yang menjadi objek berita, berita diturunkan.
Media hanya menulis sudah mencoba menghubungi oknum yang dimaksud melalui komunikasi WA tetapi tidak dijawab. Begitu pun pesan minta bertemu tidak direspon. Jelas, konfirmasi belum terjadi. Tidak ada usaha bertemu dengan objek berita selain mengandalkan pesan WA yang tentu saja tak bakal direspons objek yang – mungkin — sudah terlanjur dongkol, bahkan marah.
Membaca empat berita ini, saya hanya ingin mengatakan bahwa ada kelalaian dan tidak taat asas dalam proses kerja-kerja jurnalistik yang dilakukan media tersebut. Dari empat data yang saya ambil secara acak sebagai berita kontrol dan kritis ditemukan adanya ketidaktaatan asas yang dilakukan pekerja pers sebagaimana dituntut Kode Etik Jurnalistik pasal 5.
Oleh sebab itu, untuk mengungkap siapa pelaku pembunuhan terhadap Marsal Harahap harus diselisik (bukan ditelisik sebagaimana selalu ditulis wartawan) secara komprehensif dari berita-berita yang dimuat media almarhum.
Apalagi dari empat berita kritis yang saya kutip tersebut diturunkan dalam beberapa hari menjelang almarhum ditembak. Bukan cuma itu, ada satu berita lain yang saya tidak kutip dan diturunkan media itu mengungkap keterlibatan salah seorang oknum.
Saya tidak berpretensi negatif bahwa gara-gara berita tersebutlah almarhum dihabisi. Tetapi yang jelas selalu ada kausalitas antara apa yang terjadi kemudian dengan persoalan yang berhubungan dengan almarhum sebelumnya.
Lalu bagaimana pula dengan Udin? Udin adalah wartawan surat kabar harian asal Yogyakarta, Bernas. Semasa bekerja sebagai wartawan, Udin sudah banyak menulis laporan yang membikin telinga penguasa panas. Sebelum tewas, Udin disibukkan dengan agenda peliputan pemilihan Bupati Bantul untuk masa jabatan 1996-2001.
Ia mengikuti tiap perkembangan informasi dengan seksama. Pemilihan saat itu dianggap alot dan rumit. Pasalnya, terdapat tiga calon yang maju dan semuanya berlatarbelakang militer. Satu calon yang mencolok ialah sang petahana, Sri Roso Sudarmo. Keikutsertaan Sri Roso dalam kontestasi pilkada cukup mengejutkan.
Pasalnya, menurut pemberitahuan dari Danrem 072/Pamungkas, Kolonel (Inf.) Abdul Rahman Gaffar, Sri Roso bakal dipindahtugaskan ke daerah lain.
Namun, yang terjadi justru sebaliknya: Sri Roso turut serta dalam pertarungan menuju kursi kekuasaan.
Masuknya Sri Roso ke gelanggang membuka jalan bagi Udin untuk membongkar borok-borok pemerintahannya. Selama memegang kendali pemerintahan, Sri Roso dianggap tidak kompeten dan penuh praktik KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme). Maka, jadilan laporan-laporan yang sarat kritik macam “Tiga Kolonel Ramaikan Bursa Calon Bupati Bantul,” “Soal Pencalonan Bupati Bantul: Banyak ‘Invisible Hand’ Pengaruhi Pencalonan,” “Di Desa Karangtengah Imogiri, Dana IDT Hanya Diberikan Separo,” hingga “Isak Tangis Warnai Pengosongan Parangtritis.”
Tak cuma menyerang Suroso, laporan Udin juga menampar Orde Baru yang kala itu telah berada di senjakala kuasanya.
Yang paling bikin gempar tentu laporan Udin soal surat kaleng yang isinya menuturkan ada seorang calon bupati yang diduga kuat bakal memberikan dana sebesar satu miliar rupiah kepada Yayasan Dharmais milik Soeharto. Walaupun tidak dijelaskan siapa calon yang dimaksud, belakangan jelas bahwa sosok tersebut adalah Sri Roso.
Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya “surat pernyataan” bersegel yang ditulis dan ditandatangani oleh Sri Roso. Surat tersebut menjelaskan bahwa Sri Roso setuju “membantu” pendanaan Yayasan Dharmais apabila terpilih sebagai Bupati Bantul periode 1996-2001.
Dengan segala laporan yang ditulisnya, Udin bukannya tanpa kekhawatiran. Ia sadar sedang melawan tiran. Berkali-kali ia diikuti orang tak dikenal dan gerak-geriknya sering diawasi. Namun, rasa takut tak menghentikan niatnya untuk menulis dan menyebarkan kebenaran. Keberanian itu pula yang menuntunnya pada laporan terakhir tentang dugaan kasus korupsi pembangunan jalan. Tulisan yang kelak diberi judul “Proyek Jalan 2 Km, Hanya Digarap 1,2 Km” tersebut terbit sehari sebelum Udin meninggal.
Beberapa rekan Udin pun akhirnya membuat tim investigasi pencari fakta. Dari sejumlah penyelidikan, tim menyimpulkan bahwa tewasnya Udin tak bisa dilepaskan dari berita-berita yang ia tulis. Laporan Udin dipandang memancing kemarahan penguasa. Dalang di balik pembunuhan Udin mengerucut pada satu nama: Sri Roso. Tentu Sri Roso menolak hasil penyelidikan itu.
Seminggu setelah kematian Udin, Sri Roso menggelar konferensi pers dan menyatakan sama sekali tak terlibat dalam pembunuhan Udin. Pernyataan Sri Roso juga dipertegas kepolisian. Diwakili Kapolres Bantul, Letkol Pol Ade Subardan, polisi mengatakan kasus Udin tak punya dalang dan pembunuhnya akan ditangkap dalam kurun waktu tiga hari.
Polisi memang menangkap “pelaku” pembunuhan Udin. Ia bernama Dwi Sumaji alias Iwik yang bekerja sebagai sopir di perusahaan iklan. Masalahnya, Iwik bukanlah pelaku sebenarnya. Ia hanya tumbal kepolisian.
Dalam persidangan tertanggal 5 Agustus 1997, Iwik dipaksa mengaku bahwa ia membunuh Udin. Iwik terpaksa mengaku di bawah ancaman dan pengaruh alkohol yang disuplai Serma Pol Edy Wuryanto alias Franki, Kanitserse Polres Bantul. Iwik dijadikan tumbal untuk melindungi kepentingan bisnis, politik, serta nama baik Sri Roso. November 1997, pengadilan memvonis bebas Iwik. Majelis hakim berpendapat tidak ada bukti yang menguatkan bahwa Iwik adalah pelaku pembunuhan Udin.
Penangkapan Iwik adalah satu dari sekian keganjilan pengusutan kasus Udin. Sebelumnya, muncul pengakuan Tri Sumaryani yang menyatakan diiming-imingi sejumlah uang oleh “oknum tertentu” jika bersedia berkata pada publik dan persidangan bahwa ia berselingkuh dengan Udin. Perselingkuhan tersebut, menurut Tri Sumaryani, membikin suaminya murka dan akhirnya membunuh Udin.
Belum lagi masalah barang bukti yang dihilangkan. Lagi-lagi yang bertanggungjawab ialah Edy Wuryanto. Edy diketahui telah melarung sampel darah serta mengambil buku catatan milik Udin. Alasannya, kata Edy, demi “kepentingan penyelidikan dan penyidikan.”
Tindakan Edy digugat oleh Marsiyem, istri Udin. Pada April 1997, Majelis hakim menyatakan Edy bersalah dan dianggap melakukan tindakan melanggar hukum. Namun, Edy hanya dimutasi ke Mabes Polri, alih-alih dijerat hukuman.
Belum ada tanda-tanda kasus Udin bakal diselesaikan secara tuntas kendati telah berlalu dua dekade. Aparat masih belum bisa mengungkap siapa dalang yang membunuh Udin dan apa motif yang dibawanya.
Sri Roso memang dicokok polisi. Namun, bukan karena terlibat dalam pembunuhan Udin melainkan gara-gara kasus suap kepada Yayasan Dharmais.
Orde Baru sudah tumbang dan tergantikan oleh reformasi. Sayang, kebebasan pers masih punya pekerjaan rumah besar yang belum terselesaikan. Dan Udin mengingatkan kita akan hal itu.
Dua peristiwa keji terhadap wartawan tersebut mewakili dua era yang sangat berbeda. Era Orde Baru saat kebebasan pers dilumpuhkan dan era reformasi ketika kebebasan pers kebablasan. Produknya, sama, kekerasan terhadap wartawan tetap terjadi.
Oleh karena itu, kepada segenap insan pers agar tetap waspada dan lebih taat asas, mematuhi kode etik jurnalistik yang menjadi rambu-rambu. Jangan terlalu berhatap dengan hak jawab karena hak itu tidak berlaku kalau wartawan melanggar kode etiknya sendiri.
Hak jawab boleh dilakukan jika ada keterangan yang diberikan perlu diluruskan dari pemberi hak jawab. Bukan diberikan karena kelalaian wartawan melakukan konfirmasi lalai menerapkan kode etik jurnalistik. (*).