Obituari Usdar Nawawi Yang Tertitip “Ngopi Rong”

Ahad (24/9/2022) bilik media sosial “Wartawan Sulsel” membawa kabar duka. “Innalillahi wa inna ilaihi rajiun. Berpulang ke rakhmatullah Sdr kita Usdar Nawari (Wakil Ketua Bidang Pembelaan Wartawan PWI Sulsel di RS Hermina 10 menit lalu. Jenazahnya akan disemayamkan di rumah duka Jl.Lasuloro Dalam V Blok IV Perumnas Antang Makassar.Semoga meninggal dalam khusnul khatimah,” pada pukul 12.49, rekan Andi Pasamangi Wawo mengirim berita duka pertama di Whatsapp kelompok wartawan Sulsel tersebut

Saya terakhir bertemu Usdar Ahad, 17 September 2022 suatu sore, tepat seminggu silam saat berlangsung peluncuran buku novel “Surat Buat Maria” karya rekan Ramli S.Nawi di Kafe Baca Jl. Adyaksa Makassar. Setelah mendengar namanya disebut, mata saya kemudian “jelalatan” mencari sosoknya. Retina saya tidak menangkap utuh wajahnya yang biasa saya lihat. Keheranan muncul di dalam hati saat acara usai dan berusaha mencari sosoknya. Saya menemukan wajah seorang yang seolah mata ini keliru bahwa dialah Usdar yang saya kenal selama ini. Wajahnya sangat pucat dan tampak kurus. Saya tidak berusaha menyapanya karena keburu ke masjid.

Ketika mendengar berita duka itu, saya menyesali diri sendiri tidak menyempatkan diri menyapanya. Usdar adalah seorang teman yang tidak pernah lekang dan terpengaruh oleh riak dan gelombang situasi dan kondisi dunia kewartawanan di Sulawesi Selatan yang selalu ‘suam’. Dia tetap teman yang tidak peduli dengan ‘konteks’. Usdar yang saya kenal adalah seorang wartawan yang telah ikut memberi warna jagat jurnalisme di provinsi ini.

Menjadi watawan bagi seorang Usdar yang lair dan besar di kampung, tidak pernah terlintas sedikit pun di benaknya. Dia sama sekali tidak pernah mematok cita-cita. Dia bagaikan orang melangkah, ke arah mana kaki ini diayunkan. Profesi apa gerangan yang bakal dia geluti kelak, juga masih tanda tanya dalam diri anak pasangan Muh.Nawawi Patinrori-St Rosmani ini.

Ayahnya, seorang guru SD yang sederhana. Di samping menjadi kepala sekolah, Muh, Nawawi juga senang bercocok-tanam. Ya, begitulah posisi dan ‘profesi rangkap’ para tokoh di daerah pedesaan Sulawesi Selatan yang kebetulan sudah mengecap pendidikan. .

Ketika menginjak bangku SD, anak pertama dari empat bersaudara ini mengikuti ayahnya yang pindah mengajar di SD Longi. Sebuah desa yang terletak di kaki Gunung Bawakaraeng, yang masih termasuk wilayah Kabupaten Bulukumba di bagian barat. Di lereng gunung inilah wartawan kelahiran Bulukumba 27 Mei 1958 ini menghabiskan masa kanak-kanaknya dengan bermain gasing, main kelereng, dan rajin memungut kemiri di hutan.
Di sekolah, Usdar kecil terbilang pandai melukis pemandangan alam, objek lukisan yang paling mudah bagi para murid pada zaman itu. Tapi dia payah bila disuruh menggambar orang. Sekali waktu, dia disuruh menggambar orang. Dia pun menggambar sebuah batu besar di tengah sungai. Di samping batu, terlihat tali pancing yang ujungnya turun ke air.

“Ini gambar apaan,?” Gurunya bertanya.
“Di sebelah batu itu Pak, ada orang yang sedang memancing ikan. Tapi cuma tali pancingnya yang kelihatan, orangnya terlindung di balik batu ..,.” Usdar kecil berdalih dengan penuh percaya diri
Setelah lulus SD, Usdar melanjutkan pendidikan ke SMEP Negeri Palampang, Kecamatan Bulukumpa. Dari sekolah menengah ekonomi pertama itu, dia melanjutkan pendidikan dan tamat di SMA Negeri Bulukumba jurusan IPS pada tahun 1977. Dia lulus dan rangking I pada ujian akhir, sehingga bebas tes masuk di di Fakultas Hukum Unhas Makassar, tahun 1978.

Pada awal masa kuliah, kegemarannya ialah suka membuat ‘’Surat Pembaca’’ di Harian Pedoman Rakyat (PR), yang umumnya mengkritik berbagai persoalan di kampung halamannya. Selain itu, dia juga mulai belajar membuat majalah kampus, dan aktif di bagian siaran budaya RRI Nusantara IV Ujungpandang, membantu trio Hasyim Ado, Sudarmin Dahlan, dan Ichsan Amar.

Sekali waktu, RRI dikritik oleh seorang wartawan bernama keren Awang Bayu Asmara (alm.) melalui artikelnya yang dimuat PR. Kritik lelakli kribo bertubuh tambun kelahiran Pangkep tersebut berbunyi.  “Produksi siaran budaya RRI Nusantara IV Ujungpandang tak pernah naik kelas. Mutunya sangat rendah. Gaya siarannya cuma begitu-begitu saja, tak ada inovasi,” Wartawan kelahiran Pangkep bertubuh tambun itu melontar kritiknya melalui koran perjuangan yang tiada sejak 2007 itu.

Hasyim Ado yang penanggung jawab siaran, tentu saja tak mau tinggal diam menghadapi :serangan” itu. Dia pun membuat artikel sanggahan ke PR untuk menangkis kritikan Awang, lelaki yang ketika masih hidup selalu menunggang sepeda motor vespa itu.
Persoalannya, pada artikel tersebut nama penulisnya bukan Hasyim Ado, tetapi atas nama Usdar Nawawi. Padahal saat itu Usdar sedang berlibur di kampung. Mengapa bisa demikian ? Pertimbangannya ternyata ialah, agar di struktur RRI tidak tampak berhadapan langsung dengan kritikan Awang Bayu Asmara. Bukan Hasyim Ado yang melawan Awang, melainkan Usdar. Silakan saja Awang berpolemik dengan Usdar. Padahal yang sibuk bikin artikel adalah Hasyim Ado.
Yang menjadi persoalan kemudian, beban moral yang harus ditanggung oleh Usdar. Dia tak masalah bila namanya dipasang sebagai penulis artikel yang sedang berpolemik dengan seorang wartawan senior sekelas Awang. Tapi masalahnya, apakah pada hari-hari ke depan nantinya, dia bisa menulis artikel sendiri menyamai kualitas tulisan seniornya, Hasyim Ado? Di situ persoalannya. Tujuh hari tujuh malam Usdar susah tidur memikirkannya.

Usdar memang sangat grogi dibuatnya. Seorang anak kampung yang tak pernah menulis artikel di koran besar, tiba-tiba namanya muncul sebagai penulis pada artikel hebat yang berpolemik kencang dengan seorang wartawan senior. Yang baru dia miliki masih sebatas membuat majalah kampus, yang notabene masih lebih banyak demi kepentingan pengembangan bakat belaka. Apa mungkin tulisan, karyanya sendiri, nanti bisa lolos muat di PR, mengingat media ini adalah harian terbesar di Indonesia timur pada saat itu. Standarnya tentu bukan level majalah kampus yang iseng sebagai penyalur bakat.

Namun di balik itu, Usdar merasa tertantang. Dia harus bisa menulis artikel sendiri ke PR, tentang apa saja yang bisa ditulis. Sudah terlanjur namanya kok muncul di koran besar.

Sebulan berikutnya, dia membawa tiga judul artikel ke Redaksi PR di Jl.A. Mappanyukki, dengan perasaan harap-harap cemas. Apa artikelnya bisa termuat di surat kabar, atau mungkin akan menuju ke tong sampah. Biasa, begitulah kekhawatiran para penulis pemula membayangkan nasib artikel yang disetornya ke media, apalagi sekelas PR kala itu.

Dua hari kemudian, bertepatan dengan peringatan Hari Ibu, artikelnya yang berbicara tentang Hari Ibu, benar-benar dimuat PR. Saat itu, perasaannya benar-benar senang luar biasa. Dirinya seolah terbang ke langit. Kepalanya terasa membesar dengan rambut terasa berdiri kencang laksana duri landak.
Pada bulan itu juga, tiga artikelnya termuat semuanya. Dan, di situ pula dia pertama kalinya merasakan kebanggaan luar biasa, yakni pada saat menerima honor tulisannya yang dibayar Rp.3.500 per judul, dengan total honor Rp.10.500. Jumlah ini sesuatu yang sangat berarti pada masa itu.

Sejak itulah, Usdar menjadi salah seorang penulis di PR yang cukup produktif, bersama Oemar Labetubun, Jurlan Em Sahoas, Hasanuddin Hamid, Mappinawang, dan sejumlah penulis artikel lainnya. Tak hanya di PR, Usdar saat itu juga rajin menulis di Harian Fajar, Harian Terbit Jakarta, Berita Buana Jakarta, dan di sejumlah koran lainnya.

Pada tahun 1979, Usdar bersama sejumlah rekan penulis muda, mendirikan organisasi Ikatan Pemuda Penulis Indonesia (IPPI) Makassar yang diketuai Asmianto Amin, wartawan PR yang kini sudah bermukim di Jakarta. Usdar dipercaya menjadi Sekum IPPI. Pengurus IPPI saat itu dilantik oleh Ketua PWI Sulsel, Rachman Arge, di Ford Rotterdam Benteng Ujungpandang. Ide pembentukan IPPI tersebut, muncul di Taman Macan, yakni lapangan segi tiga yang terletak di Jl.Balaikota – Jl.Sultan Hasanuddin.

Melamar Jadi Wartawan

Tahun 1980, dia berkunjung ke Redaksi Surat Kabar Mingguan “Mimbar Karya” di Jl.Achmad Yani. Di situ juga berkantor dua surat kabar lainnya, yakni Harian “Fajar” dan Harian “Tegas” yang terbit sore hari.
Usdar memperkenalkan diri ke seorang redaktur, yakni Nasir Tongkodu. Dan, tak disangka-sangka ternyata Nasir sudah mengenal nama Usdar melalui sejumlah tulisannya di PR. Hari itu juga Usdar dihadapkan ke Pimpinan Redaksi, Gani Haryanto (alm.), dan langsung diterima menjadi wartawan, tanpa tes dan tanpa surat lamaran.

“Kamu sejak hari ini diterima jadi wartawan ‘Mimbar Karya;, dan ditugaskan sebagai Wartawan Ekonomi dan Pertanian” kata Gani Haryanto almarhum.
Tugas pertamanya, meliput sukses KUD Mattirobulu di Bulukumba, yang berhasil menjadi KUD terbaik di Indonesia pada saat itu. Karena memang kampungnya sendiri, maka tak begitu sulit bagi Usdar menjangkau KUD Mattibulu yang terletak di Gangking (Gantarang Kindang).
Dengan kamera otomatis pinjaman dari tetangga, Usdar pun meluncur ke KUD Mattirobulu dengan menumpang bus. Dia menempuh jarak 150 km ke arah selatan. Inilah pengalaman pertamanya melakukan perjalanan jurnalistik dengan tustel pinjaman milik tetangga sebelah rumah.

Di KUD Mattirobulu, ternyata dia diterima dengan sangat ramah oleh Ibnu, Ketua KUD yang didampingi beberapa pengurus lainnya. Maklum, “Mimbar Karya” saat itu beredar luas di seluruh pelosok daerah Sulsel sebagai koran spesialis masuk desa.

Seharian Usdar di KUD tersebut mengumpulkan bahan tulisan, sambil melakukan pemotretan ke sana-kemari, hingga para pengurus dan karyawan yang dipotret berkali-kali, jadi capek bergaya. Maklum saja, dia juga baru pertama kali memotret untuk keperluan berita. Dia serba hati-hati memang saat memotret. Takut hasilnya jelek. Apalagi, lokasi dan objek pengambilan gambarnya jauh dari Kota Makassar.

Sekembali ke Makassar, kamera yang berisi rol film 36 kutip itu, langsung dibawa ke tukang cuci foto Beng Seng di Jl.Sulawesi. Toko ini, milik warga keturunan, yang sejak dulu sudah dikenal keterampilan mencuci-cetak foto hitam putih. Banyak wartawan senang mencetak foto mereka di sini, karena hasilnya bagus. Kualitas kertasnya mengkilap dan itu sangat disukai teman-teman wartawan.
Di benaknya, kira-kira ada 30-an hasil foto yang sisa dipilih untuk dimuat, sebagai gambar pendukung berita. Beng Seng, si pemilik tempat cuci foto itu, terlihat alisnya mengerut saat membolak-balik pembungkus rol film itu di dalam kain hitam. Seolah-olah ada sesuatu yang terasa aneh. Usdar seperti menangkap firasat tak beres dengan hasil pemotretannya. Jangan-jangan berantakan semua.
‘’Rol filmnya tak bisa dicuci karena dalam keadaan kosong. Tak ada gambar,’’ kata pemilik cuci foto Beng Seng yang membuat Usdar nyaris ‘pingsan’.

Apa yang terjadi? Ternyata, ketika Usdar memasang rol film ke dalam kamera, tidak rapat ke cantolannya sehingga bila pemutar rol otomatis diaktifkan, rol film tidak ikut terputar. Masya Allah. Namanya juga baru pegang kamera. Tustel tetangga pula.

“Subhanallah ..”. Usdar baru menyadari bahwa ketika dia super sibuk memotret, ternyata ‘pale’ (lah) rolnya tidak ikut terputar. Mana mungkin fotonya bisa jadi kalau rol film tak berputar.

Dua hari Usdar berpikir kencang. Dari mana foto kegiatan KUD Mattirobulu bisa diambil. Sementara untuk kembali memotret ke Bulukumba sesuatu yang tidak mungkin. Ini kejadian yang sangat memalukan.

“Seandainya para pengurus KUD Mattirobulu itu tahu foto-foto mereka gagal tampil di surat kabar gara-gara beginian, di mana mau diletakkan muka ini,” gumam Usdar.

Tetapi sebagai wartawan yang tidak boleh kehilangan akal dalam melengkapi beritanya dengan foto, Usdar berpikir keras bagaimana bisa mendapatkan foto pendukung berita yang sesuai. Lantas mau ngambil dari mana ?

Eh .. ternyata caranya cukup mudah. Usdar dapat akal. Dia ke Kantor Puskud Sulsel. Pasti di instansi itu ada arsip foto KUD di kabupatennya. Soalnya, KUD itu terbaik di seluruh Indonesia. Jadi pasti ada dokumentasinya di Puskud. Benar juga, dia ternyata menemukan foto-foto Ketua KUD Mattirobulu di Puskud Sulsel, yakni arsip foto pada saat Ketua KUD Mattirobulu menerima penghargaan dari Presiden Soeharto di Istana Negara. Usdar pun plong.
Ternyata kegembiraannya terhadang kekhawatiran. Di Puskud, Usdar bertemu Ibnu, sang Ketua KUD Mattirobulu yang beberapa hari lalu menyaksikan bagaimana dia bergaya mengambil foto di kantornya di Bulukumba. Dia pun melihat Usdar membawa foto-foto tersebut. Bagaimana menjelaskan duduk persoalan foto ini? Usdar beralasan, setelah pimpinan redaksinya menimbang-nimbang, maka foto yang paling bagus dimuat adalah foto-foto penerimaan penghargaan dari presiden. Ibnu terlihat manggut-manggut, senang. Dia tidak pernah tahu bila kamera Usdar bermasalah. Gagal tayang … !
Selama 4 tahun dia menjalani hari-harinya sebagai wartawan Mingguan “Mimbar Karya”, mingguan terbesar di Sulsel pada saat itu dengan oplah 8.000 eksamplar. Gajinya waktu itu sebesar Rp. 70.000 per bulan.

Menyamar

Setelah menimba ilmu dan praktik jurnalistik di mingguan bertiras besar di Sulsel itu, Usdar berpikir mencari suasana baru. Tahun 1984, dia pindah ke Harian Berita Buana, Jakarta dengan wilayah tugas di Sulawesi Selatan. Di situ dia berkenalan dengan Moelawarman dan Ajiep Padindang. Namun cuma satu tahun bertahan, Ketua Yayasan Pers Indonesia (1986-1988) ini kemudian pindah ke Majalah FAKTA Surabaya. Waktu itu, Majalah FAKTA mencapai oplag 10.000 eksemplar yang beredar di Sulsel. Di majalah inilah dia menjalani hari-harinya sebagai wartawan Hukum dan Kriminal selama 8 tahun untuk wilayah Sulawesi Selatan.

Sekali waktu, dia memprogramkan untuk membongkar praktik prostitusi di sejumlah warung remang-remang di salah satu kabupaten, dekat perbatasan dengan salah satu kota madya. Lelaki yang pernah berkiprah sebagai Eksekutif Penerbitan Majalah “Potensi” ini berpikir, wah…, ini sudah tidak benar. Daerah yang dipimpin Mansyur A.Sultan waktu itu, sekitar tahun 1986, dikenal dalam sejarah sebagai daerah santri yang sangat diperhitungkan. Kok bisa-bisanya praktik haram itu tumbuh dengan aman di daerah itu.

Menggunakan sepeda motor butut, anggota Dewan Redaksi Tabloid “Gema” tersebut – ketika itu –, pun meluncur dari Makassar ke daerah yang dimaksud. Setelah melewati kota, dia tiba di lokasi, tempat terdapat delapan warung remang-remang yang sedang ramai ditandangi pengunjung. Para pengunjung ini rupanya dari kalangan sopir truk angkutan barang yang getol singgah minum kopi, sambil menikmati kehangatan Penjaja Seks Komersial (PSK) yang berkedok sebagai penjaga warung. Setiap warung dilengkapi dengan sedikitnya tiga kamar tempat berkencan. Dinding kamarnya terbuat dari bahan bambu, yakni “gamacca” (gedek), dengan ukuran kamar 2 X 3 m2. Itulah potret rumah bordil kelas kambing. Di depan warung memang banyak truk yang parkir.

Hampir tengah malam, sang Dewan Redaksi Tabloid Borgol (2001-2010) ini masuk ke salah satu warung dengan menyamar sebagai tamu yang kemalaman dalam perjalanan ke Parepare. Dia memesan secangkir kopi, sekalian minta satu kamar untuk menginap, plus disiapkan seorang pelayan wanita yang tak lain adalah PSK kelas kambing itu. Meski kelas kambing, mereka cantik juga tampaknya. Sebab, lampu warungnya remang-remang, yang dipadu warna merah dan kuning. Seandainya PSK-nya sudah nenek-nenek, mungkin saja masih bisa dikira cantik, bak gadis 19 tahun. Bah !

Saat semua warung sedang ramai-ramainya, tempat wartawan yang berani jalan sendirian ini, masih menikmati kopi dan pelan-pelan mengorek informasi dari PSK yang duduk di dekatnya, tiba-tiba datang polisi dua truk melakukan penggerebekan. Seluruh warung digerebek, Semua PSK-nya diangkut ke kantor Polsek setempat.

Selama penggebekan yang berlangsung sekitar setengah jam, Usdar merasakan juga dag dig dug kencang di jantungnya. Jangan-jangan polisi juga akan mempersilakan dia ikut naik ke truk. Apa kata dunia nanti. Tapi anehnya, satu-satunya PSK yang tidak digelandang ke truk polisi, cuma PSK yang duduk di samping si “wartawan asal Tanjung Bira” ini.
Kemudian, seorang polisi mendekat dan berkata :
“Pak, bapak tenang-saja di situ. Tak usah khawatir .. Ini perintah Kapolres,” bisik seorang polisi yang tiba-tiba merapat ke Usdar yang membuat dia menjadi bingung juga, apa maksud polisi ini. PSK yang diinvestigasi Usdar itu memang tidak ditangkap, tapi juga sudah lari ketakutan entah ke mana. Rupanya, sejak Usdar menyamar di situ sebagai tamu, ada intel polisi yang mengetahuinya, setelah melihat sticker Majalah FAKTA yang terpasang di kap motor milik Usdar.

Kapolres yang dilapori soal kehadiran wartawan di rumah bordil itu, ternyata otaknya encer juga. Dia langsung memerintahkan penggerebekan, agar supaya aksi penggerebekan ini dapat dipublikasi di Majalah FAKTA. Maklum saja, Majalah FAKTA saat itu beredar luas di kepolisian seluruh Indonesia. Tentu saja Kapolres tak mau menyia-nyiakan kesempatan publikasi. Promosi gratis.

Usdar tidak tidur sampai pagi. Dia menggeledah warung satu per satu. mengumpulkan bahan tulisan yang diperlukan. Kemudian pagi hari dia langsung menemui bupati untuk mengonfirmasi soal keberadaan ‘’warung koboi’’ yang baru saja digrebek aparat kepolisian pada malam harinya.

Rupanya, bupati tidak tahu kalau di daerahnya telah berkembang bisnis haram yang dapat membahayakan moral generasi muda di kabupaten yang dipimpinnya. Apalagi, sudah ada satu dua PSK di situ yang berasal dari daerah itu sendiri. Dari hasil konfirmasi Usdar itulah, ternyata membuat sang bupati jadi malu dan marah besar.

Tiga hari kemudian, ke delapan warung remang-remang itu, ludes dilalap api. Dibakar atas perintah Bupati. Beritanya kemudian ditulis Usdar di Majalah FAKTA dengan sangat manis.

Pengalaman jurnalistik Usdar di dunia kriminal, yang dijalaninya selama delapan tahun, dirasakan sebagai ilmu yang sangat besar manfaatnya. Dengan tulisan-tulisan yang banyak memborbardir dunia prostitusi, dia lebih fokus pada tata aturan yang dilanggarnya. Kalau melanggar aturan, ya usaha itu harusnya ditutup. Kalau dibiarkan, pasti mereka akan makin besar.
.
Memimpin Beberapa Media

Dalam kurun waktu 1984 hingga tahun 1992 tersebut, sesungguhnya Usdar tak hanya menjadi wartawan Majalah FAKTA. Selain di FAKTA, dia merangkap jadi pelaksana Pemimpin Redaksi SKU Pancasila, dan memimpin Majalah Semangat Baru. Nanti ketika dia menjadi Redpel di SKU Bina Baru (sekarang Harian Berita Kota Makassar), dia baru melepaskan diri dari Majalah FAKTA Surabaya.

Mingguan SKU Bina Baru, adalah milik Syamsuddin Palussai, yang berkantor di Jl.Tamalate IV, Perumnas Panakkukang. Koran ini, ketika Syamsuddin Palussai masih sehat, terbitnya sangat teratur. Oplahnya cukup besar merambah wilayah Sulsel.

Ketika beliau mendekati hari-hari terakhirnya di Rumah Sakit Akademis, dia tiba-tiba ingat surat kabarnya yang terbengkalai.
“Coba cari itu Usdar, supaya dia bisa melanjutkan itu surat kabar,” kata Truitje Musila, istri Syamsuddin Palussai beberapa hari sebelum berpulang.
Padahal sebetulnya, Usdar tidak pernah bergabung di Bina Baru. Hubungan pribadi antara Syamsuddin Palussai dengan Usdar juga tidak terlalu dekat.

Beberapa bulan setelah Syamsuddin Palussai meninggal, Usdar pun dipanggil Truitje Musila, untuk menyampaikan pesan almarhum suaminya. Usdar tak sendiri menerima amanah ini. Dia mengajak Usamah Kadir membuat proposal penerbitan Bina Baru, untuk dihadapkan ke Aksa Machmud, siapa tahu Aksa Machmud mau membantu modal penerbitan.

Proposal itu tak jadi dibawa ke Aksa, Usdar dan Usamah membelok menemui Alwi Hamu. Ketika Alwi Hamu disodori proposal, langsung saja menyatakan setuju.

“Sudahlah, karena Bina Baru juga masih ada utang cetak di percetakan Fajar, maka sekalian dilanjutkan saja dengan kerja sama” kata Alwi Hamu kepada Usdar dan Usama.

Sejak saat itulah, di awal tahun 1992, Usdar dan Usamah Kadir menjalankan penerbitan SKU itu, Pemimpin Redaksinya adalah H.Syamsu Nur. Trutje Musila duduk dalam jajaran direksi. Awalnya, koran ini terbit sekali seminggu. Lama-lama jadi dua kali seminggu, dan pada tahun keempat, terbit dengan oplag 8.000 eksamplar. Pada saat itu koran ini berhasil menjadi mingguan terbesar di Sulsel. Lalu akhirnya menjadi Harian Berita Kota.

Athirah

Tahun 1994, KM Atirah milik M.Jusuf Kalla, diresmikan sebagai kapal pengangkut tenaga kerja ke Malaysia di pelabuhan Surabaya. Dua wartawan dari Makassar diundang mengikuti perjalanan perdana KM Atirah rute Surabaya – Johor Bahru, Malaysia Barat, yakni Usdar Nawawi dari Bina Baru dan Anto dari Harian Fajar.

Perjalanan dari Makassar – Surabaya – Johor Bahru Malaysia, merupakan perjalanan jurnalistik pertama Usdar Nawawi dalam sejarah kariernya sebagai wartawan. Yang pertama kali merasakan naik pesawat terbang , dan yang pertama kalinya pula dia naik kapal laut. Dan langsung pula menginjak tanah negeri jiran, Malaysia.

“Saya merasakan benar-benar nikmat menjadi wartawan pada masa itu ..” kenang Usdar.
Pola perjalanan ke Malaysia, yakni menumpang KM Atirah ke Johor. Lalu Usdar tinggal di Johor, sementara KM Atirah kembali ke Surabaya. Satu minggu kemudian, baru KM Atirah berlabuh di pelabuhan Johor. Karena itulah, dia leluasa selama satu minggu melihat langsung bagaimana kehidupan tenaga kerja Indonesia di Malaysia pada saat itu.
Saat turun dari kapal, Usdar was was jangan sampai rokok ji sam soe filter yang dia bawa dalam tas sebanyak 5 slof disita oleh petugas bea cukai. Kata orang, kalau ada rokok yang lebih dari sebungkus, pasti disita. Namun ketika Kapten KM Athirah memberitahu petugas di pelabuhan, bahwa Usdar adalah wartawan dari Indonesia, ternyata petugas tidak berminat lagi memeriksa tas koper milik Usdar. Rupanya, petugas bea cukai di Johor itu, grogi juga sama wartawan.

Dari hasil investigasi, ternyata di pelabuhan tersebut juga sangat rawan pungli. Daripada diliput wartawan, lebih baik loloskan saja dan tak usah diperiksa-periksa lagi.

Bikin Mitos

Tahun 1996, Usdar keluar dari Bina Baru dan menjadi Wakil Direktur Makassar Promo, anak perusahaan Fajar yang bergerak di bidang promosi (1996-1997), lalu pindah ke PT Maupa Utama milik Fajar Group (1997-1998) sebagai GM. Perusahaan ini bergerak di bidang perpajakan, tapi kemudian gulung tikar.

Usdar kemudian mencoba keluar dari Fajar Group dengan membuat surat kabar sendiri, yakni Tabloid BugisPos, tahun 1999. Saat itu, izin terbit berupa SIUPP sangat mudah diurus, maka bagi Usdar, tak ada salahnya ngurus SIUPP.

“Kalau punya koran sendiri, tak ada yang bisa memecat, kecuali Tuhan.. Memecat diri sendiri juga bisa, dengan cara buang handuk bila sudah tak mampu terbit .. “ kata Usdar, sambil ketawa.
Di akhir tahun 2009, Usdar yang punya kawan banyak dari dunia paranormal, tertarik memanfatkan mereka untuk membuat majalah khusus dunia gaib. Ternyata berhasil. Desember 2009, majalah yang diberi nama MITOS setebal 64 halaman tersebut, telah terbit. Dan ternyata sangat diminati banyak pembaca. Cuma saja pada setiap wartawan MITOS membuat berita tentang dunia gaib, pasti bulu kuduk pada merinding.

Edisi perdana MITOS, antara lain berhasil mengungkap misteri Makam Tujua Karebosi. Padahal, sejak berabad-abad lamanya, tak ada yang bisa mengungkap rahasia di makam yang berada di tengah lapangan Karebosi tersebut. Dalam Lontara Kerajaan Gowa sekalipun, tak ada penjelasan yang cukup soal Tujua di Karebosi. Tapi kemudian Majalah MITOS di tangan Usdar yang berhasil mengungkapnya.

Dengan perjalanan panjang Usdar Nawawi menjadi wartawan selama 30 tahun, rupanya ada yang terlupa. Dia lupa menyelesaikan kuliahnya di Fak Hukum Unhas. Dia aktif kuliah cuma sampai tahun 1993. Selebihnya, dia mencari penghidupan di dunia jurnalistik, dan membiayai istrinya, Putriani Etna, yang kuliah di Fak Sospol Unhas. Sekarang, sang istri tercinta yang bekerja di lingkup Pemkot Makassar, sudah memberinya empat anak, yakni Ahmad Ainul Yaqin, Dewi Musfira, Dzill Ihzani (almarhumah), dan si bungsu, Ahmad Nurul Haq. Ketiga putra Usdar ini sudah bekerja di kantor pemerintah.

“Saya tak ingin anak-anak saya jadi wartawan. Takutnya mereka tak mampu menderita. Jadi wartawan, harus siap menderita. Kalau jadi wartawan, jangan mimpi jadi kaya. Hanya sedikit wartawan yang kaya di Indonesia. Di Sulsel, hanya Alwi Hamu yang kaya, itu pun bukan karena dia wartawan, tapi karena dia pengusaha media” kata Usdar.

Hanya saja, katanya, kalau sudah terlanjur jadi wartawan yang benar, maka akan menjadi candu. Sangat sulit meninggalkannya. Enaknya juga banyak. Wartawan bisa ke mana-mana, bisa menemui siapa saja, dan mudah berkomunikasi dengan banyak orang. Terhadap pejabat, apalagi. Berkenalan dengan mereka tak terlalu sulit, antara lain karena mereka banyak yang senang dipublikasikan.

Ada juga yang mau kenalan dengan wartawan, supaya tidak dikritik kerjanya. Tapi kadang juga ada pejabat yang sulit ditemui wartawan, misalnya kalau lagi bermasalah. Mereka banyak yang menghindari wartawan.

Ketika Usdar pertama masuk ke Unhas, dia ditanya oleh seorang seniornya :
“Coba jawab, apa definisi wartawan?.”.
Usdar tidak tahu, tak bisa menjawab. Sambil tersenyum sang senior pun berkata :
“Wartawan ialah, sejenis mahluk yang selalu mau gratis”.

Usdar menyelesaikan pendidikan dasar di Bulukumba tahun 1971. Dia kemudian melanjutkan studinya ke SMEP Negeri di kota yang sama tahun 1974. Mestinya, dari SMEP sambungannya yang pas adalah SMEA. Tetapi, dia malah masuk ke SMA Negeri Bulukumba dan tamat tahun 1977. Tahun berikutnya, dia diterima sebagai mahasiswa bebas tes di Fakultas Hukum Unhas.

Modal pengetahuannya sebagai wartawan diperoleh melalui Pendidikan Dasar Pers Mahasiswa di Fakultas Hukum Unhas tahun 1981. Setelah berkiprah sebagai wartawan, dia mengikuti Orientasi Kewaspadaan Nasional (Orpadnas) yang digelar PWI Cabang Sulsel (1988) dan Karya Latih Wartawan (KLW) tingkat dasar dan lanjutan antara Agustus dan September 1995. Dia juga mengikuti Pekan Orientasi Komunikator Semangat dan Nilai-nilai 45, Mei 1996, Ujungpandang, Penataran P4 Pola 45 Jam Bagi Wartawan Anggota PWI Sulsel, 4-9 Maret 1996, di Ujungpandang, Penataran P4 Calon Penatar Tk.I Sulsel, 9-24 Desember 1996, Ujungpandang.
Usdar termasuk salah seorang wartawan yang organisator. Seabrek organisasi pernah digelutinya. Misalnya, sebagai Ketua Umum Remaja Emmy Saelan Makassar (1981-1984), Sekum Ikatan Pemuda Penulis Indonesia (IPPI) Makassar (1979-1983), Sekretaris II Ikatan Pelajar dan Mahasiswa Bulukumba (IPMAH) Makassar (1982-1986), Pengurus Pleno Bidang Hukum dan Hankam PWI Sulsel (1997-2001), Ketua Umum Perhimpunan Pekerja Pariwisata Makassar (P3M) tahun 2000-2005, Ketua Umum AUHM Kota Makassar (2002-2007), Satgas Pers Golkar pada Pemilu 1987, Anggota Bappilu Golkar Ujungpandang (1997), Sekum Pemuda Justitia Sulsel (1994-1999), Ketua I Kerukunan Keluarga Bulukumba (KKMB) Makassar (1994-2002), Sekretaris II FKBM Makassar (2003-2008), Wakil Ketua II Generasi Penerus Bangsa (GPB) Makassar (2003-2008), Ketua PPK Kec,Manggala Makassar (2004), Ketua Bidang Hukum dan HAM PWI Sulsel (2006-2010), dan Ketua ARKES Kota Makassar (2005-200).

Hingga kini, Usdar Nawawi sudah melakukan perjalanan jurnalistik antara lain ke Singapura dan Malaysia (1994) dan keliling Jawa dan Bali pada tahun berikutnya.

Sahabat kita, Usdar Nawawi telah tiadi Yang tertinggal buat para sahabatnya hanyalah “Ngopi Rong”, seratus esai karyanya yang sudah menjadi buku. Selamat jalan Sahabat, Anda telah ikut memberi warna yang khas bagi jagat wartawan di daerah ini.

(Dari buku, “Menerobos Blokade Kelelawar Hitam” 2010, oleh M.Dahlan Abubakar).

Leave a Reply