Jurnal8.com | Jakarta,- Dalam rangka mengakselerasi Digital Transformation PT Pertamina (Persero) terutama di sektor retail SPBU, PT Pertamina (Persero) c.q Direktorat Pemasaran Retail ditugaskan oleh Kementrian ESDM dan BPH Migas untuk melakukan Digitalisasi SPBU untuk memberikan visibilitas penjualan dan pelanggan di seluruh SPBU di Tahun 2018. Untuk melaksanakan program Digitalisasi SPBU, PT Pertamina (Persero) melakukan pengadaan Digitalisasi SPBU dengan melakukan proses pengadaan penunjukan langsung dengan PT Telekomunikasi Indonesia (PT Telkom).
Pada tanggal 18 April 2019 PT Pertamina (Persero) dan PT Telkom telah menandatangani Perjanjian Pengadaan Digitalisasi SPBU Pertamina Nomor SP 12/C00000/2019-S0 (“Perjanjian Awal”) dengan nilai kontrak sebesar Rp15,25/liter atau senilai Rp3,626.658.426.755,00. Nilai kontrak tersebut dihitung dengan asumsi total prognosa jumlah liter s.d tahun 2023 sebesar 237.813.668.939 liter. Jangka waktu kontrak semula sejak kick off meeting s.d tahun 2023.
Hal ini berdasarkan Memorandum Direktur Pemasaran Retail Nomor 073/Q00000/2018- S3 tanggal 28 Agustus 2018 kepada VP Procurement Excellence Center perihal Permohonan Proses Pengadaan Digitalisasi SPBU diketahui bahwa nilai Owner Estimate (OE) ditetapkan sebesar Rp15,44/liter atau senilai Rp3.672.866.679.084,00 (tidak termasuk PPN). OE tersebut dibuat pada tanggal 29 Agustus 2018 oleh Sr Analyst III Digital Transformation, VP RFM dan SVP CICT. OE kemudian diperiksa oleh Direktur Pemasaran Retail dan disetujui oleh Direktur Utama PT Pertamina
Berdasarkan Rincian OE Pengadaan Digitalisasi SPBU PT Pertamina diketahui sebagai berikut:
Hasil pemeriksaan secara uji petik atas Pengadaan Digitalisasi SPBU tersebut di atas diketahui beberapa hal sebagai berikut:
a. Penyusunan Owner Estimate Pengadaan Digitalisasi SPBU Tidak Sepenuhnya Sesuai dengan Term of Reference (TOR) Dalam rangka memperoleh acuan harga dalam pengadaan Digitalisasi SPBU, Pertamina menyusun OE dengan mengacu kepada Term of Reference (TOR) dan Spesifikasi Teknis yang ditentukan.
Berdasarkan hasil pemeriksaan dikatahui bahwa OE yang telah disusun tidak sepenuhnya mengacu kepada TOR dan spesifikasi teknis dengan penjelasan sebagai berikut:
1) Perhitungan OE Untuk Biaya OTC Hardware Infra SPBU Tidak Sesuai Dengan Dokumen Term of Reference, Spesifikasi Teknis dan Bill of Quantit
a) Pertamina masih memperhitungkan biaya asuransi sebagai komponen pembentuk harga OE Hasil pemeriksaan atas dokumen pengadaan menunjukkan bahwa berdasarkan Berita Acara Nomor BA-1266/I02120/2018-S7 tanggal 29 Agustus 2018 tentang Penjelasan Pekerjaan diketahui bahwa dalam pemberian penjelasan kepada penyedia jasa terdapat perubahan TOR awal menjadi TOR yang sudah direvisi.
TOR awal diajukan melalui Memorandum Direktur Pemasaran Retail Nomor 073/Q00000/2018-S3 tanggal 28 Agustus 2018 ketika melakukan permohonan proses pengadaan digitalisasi SPBU kepada VP Procurement Excellence Center. Salah satu perubahan dalam klausul TOR adalah terkait asuransi dan pembayaran.
Adapun perubahan klausul tersebut dapat dijelaskan pada tabel berikut.
Pada dokumen rincian perhitungan OE “Total perhitungan infra ATG, EDC, Implementasi P-Insyst (beserta pendukungnya) di SPBU” diketahui bahwa terdapat biaya Insurance (Asuransi) yang termasuk dalam komponen biaya support dengan total biaya sebesar Rp44.642.545.725,00.
Dari tabel 3.16 tersebut di atas diketahui bahwa biaya asuransi yang dimaksud pada penyusunan TOR awal merupakan asuransi untuk semua perangkat yang disewakan oleh PT Telkom di 5.518 SPBU pada PT Pertamina dimana beban biaya asuransi tersebut merupakan tanggungan PT Telkom. Sementara itu, menurut TOR revisi PT Telkom tidak diwajibkan mengasuransikan perangkat yang disewakanan pada program digitalisasi di 5.518 SPBU.
Hasil pemeriksaan lanjutan atas dokumen OE diketahui bahwa atas adanya perubahan klausul tersebut tidak dilakukan perhitungan ulang OE dan masih menggunakan OE lama sesuai dokumen inisisasi pengadaan sehingga perhitungan biaya Insurance (Asuransi) sebesar Rp44.642.545.725,00 (belum dikalikan faktor margin & bunga) seharusnya tidak diperhitungkan dalam penyusunan OE.
b) Terdapat perbedaan perhitungan biaya infra ATG, ATG Console, EDC Printer antara OE dengan dokumen TOR dan Spesifikasi Teknis. Hasil pemeriksaan atas dokumen rincian perhitungan OE untuk biaya hardware infra SPBU, dokumen TOR dan spesifikasi teknis pekerjaan diketahui bahwa terdapat kelebihan perhitungan unit ATG, ATG Console dan EDC Printer dibandingkan dokumen TOR. Adapun perbedaan tersebut seperti pada tabel berikut.
Tabel 3. 17 Kelebihan Perhitungan Unit ATG, ATG Console dan EDC Printer
Atas perbedaan perhitungan unit ATG, ATG Console dan EDC Printer dibandingkan dokumen TOR di atas berdampak pada perhitungan OE untuk biaya infra untuk unit ATG, ATG Console dan EDC Printer selisih sebesar Rp483.033.000.000,00 (belum dikalikan faktor margin & bunga) dengan rincian sebagai berikut.
Tabel 3. 18 Kelebihan Perhitungan Biaya ATG, ATG Console dan EDC Printer
c) Perhitungan biaya infra untuk biaya support back up tidak sesuai dengan dokumen Spesifikasi Teknis dan Bill of Quantity dan terjadi perbedaan perhitungan sebesar Rp35.714.036.580,00 Hasil pemeriksaan perhitungan biaya infra ATG, EDC, Implementasi P-Insyst (beserta pendukungnya) di SPBU menunjukkan bahwa untuk biaya back up infra dihitung 5% dari total biaya infra yang terdiri atas total biaya shared, ATG, ATG Console dan EDC Printer.
Sementara itu berdasarkan dokumen spesifikasi teknis dan Bill of Quantity (BoQ) diketahui bahwa untuk perhitungan biaya back up infra menggunakan parameter sebesar 3% dari total biaya infra sehingga terdapat selisih perhitungan lebih sebesar 2% dengan total nilai sebesar Rp35.714.036.580,00 (belum dikalikan faktor margin & bunga) dengan rincian perhitungan sebagai berikut
Tabel 3. 19 Kelebihan Perhitungan Biaya Back Up Infra
2) Terdapat perbedaan perhitungan biaya Insurance/Asuransi sebesar Rp3.152.200.890,00 atas Biaya Infrastruktur Utama (Data Center) antara OE dengan Dokumen Term of Reference
Hasil pemeriksaan atas dokumen OE menunjukkan bahwa perhitungan biaya asuransi dalam penyusunan OE untuk perhitungan infrastruktur data center (dasar cloud services) tidak sesuai dengan dokumen TOR dan terdapat perbedaan perhitungan biaya asuransi sebesar Rp3.152.200.890,00 dengan rincian sebagai berikut.
Tabel 3. 20 Perhitungan Biaya Asuransi/Insurance Infrastruktur Utama Data Center
Berdasarkan tabel 3.20 di atas diketahui bahwa biaya asuransi yang dimaksud pada penyusunan TOR awal merupakan asuransi untuk semua perangkat yang disewakan oleh PT Telkom di 5.518 SPBU pada PT Pertamina dimana beban biaya asuransi tersebut merupakan tanggungan PT Telkom. Sementara itu, menurut TOR revisi PT Telkom tidak diwajibkan mengasuransikan perangkat yang disewakan pada program digitalisasi di 5.518 SPBU.
Atas adanya perubahan klausul tersebut tidak dilakukan perhitungan ulang OE dan masih menggunakan OE lama sesuai dokumen inisiasi pengadaan sehingga perhitungan biaya Insurance (Asuransi) pada komponen biaya Infrastruktur Utama Data Center sebesar Rp3.152.200.890,00 (belum dikalikan faktor margin & bunga) seharusnya tidak diperhitungkan dalam penyusunan OE.
3) Perhitungan OE Untuk Biaya Support Tidak Sesuai Dengan Dokumen Term of Reference dan Spesifikasi Teknis
a) Perhitungan OE Biaya Support Untuk Subkomponen Biaya Data Center (Colocation) dan Network Tidak Sesuai Dokumen Term of Reference dan berpotensi terjadi kelebihan perhitungan sebesar Rp2.040.000.000,00
Berdasarkan dokumen TOR diketahui bahwa penyediaan sistem dan infrastruktur pendukungnya untuk digitalisasi SPBU Pertamina akan dilakukan di 5.518 SPBU. Namun demikian, pada rincian perhitungan subkomponen biaya data center dan network diketahui bahwa jumlah SPBU yang digunakan untuk perhitungan adalah sebanyak 5.552 SPBU atau terdapat selisih lebih perhitungan (over estimated) sebanyak 34 SPBU senilai Rp2.040.000.000,00 (belum dikalikan faktor margin & bunga) dengan rincian perhitungan sebagai berikut
tabel 3. 21 Kelebihan Perhitungan Biaya Data Center (Colocation) dan Network
b) Perhitungan OE Biaya Support Untuk Subkomponen Biaya EoS dan Ops Tidak Sesuai Dokumen Spesifikasi Teknis dan berpotensi terjadi kelebihan perhitungan sebesar Rp175.245.000.000,00
Berdasarkan dokumen spesifikasi teknis diketahui bahwa pada tahap development & maintenance terdapat tenaga kerja untuk support 5.518 SPBU (paket) Engginer on Site (EoS) dengan jumlah 1 orang per SPBU atau total 5.518 orang EoS dengan spesifikasi minimal SMU atau sederajat, pengalaman minimal 1 tahun dengan tugas dan tanggung jawab :
(1) Mengerti tentang EDC, ATG, ATG Console, FCC, POS, LAN, WAN;
(2) Melakukan maintenance on site di SPBU; dan
(3) Melakukan pendampingan pada saat selesai dilakukan installasi P Insyst.
Hasil pemeriksaan atas perhitungan biaya support untuk sub komponen biaya EoS & Ops diketahui bahwa biaya EoS dihitung menggunakan 4 orang per SPBU (1 team = 4 orang) dengan jumlah SPBU 5.552. Hal tersebut tidak sesuai dengan dokumen TOR yang menggunakan EoS per SPBU menggunakan 1 orang dengan total SPBU sebanyak 5.518. Atas perbedaan perhitungan unit EoS dan jumlah SPBU tersebut berdampak pada perhitungan OE biaya support untuk sub komponen biaya EoS & Ops yang diperhitungkan lebih tinggi (over estimated) senilai Rp175.245.000.000,00 (belum dikalikan faktor margin & bunga) dengan rincian sebagai berikut.
Tabel 3. 22 Kelebihan Perhitungan Biaya EoS & Ops
Atas hasil uji petik atas kelebihan perhitungan biaya Insurance (Asuransi), ATG, ATG Console, EDC Printer, Back Up infra dan biaya support tersebut di atas serta memperhitungkan keuntungan & risiko (margin) sebesar 5% maka diperoleh total biaya OTC dan biaya support pengadaan digitalisasi SPBU sebesar Rp2.731.025.889.338,00 atau Rp11,48/liter.
Jumlah tersebut lebih kecil dibandingkan dokumen perhitungan OE dimana total biaya OTC dan support sebesar Rp3.672.866.679.084,00 atau Rp15,44/liter sehingga terjadi potensi over estimate perhitungan OE sebesar minimal sebesar Rp941.840.789.695,00 atau Rp3,96/liter (Rp15,44 – Rp11,48)/liter.
4) Perhitungan OE Untuk Biaya Implementasi di SPBU sebesar Rp250.457.525.051,00 Tidak Sesuai Ketentuan
Hasil pemeriksaan atas dokumen penyusunan OE diketahui bahwa terdapat komponen biaya implementasi di SPBU sebesar Rp250.457.525.051,00 yang terdiri atas subkomponen biaya sebagai berikut.
Tabel 3. 23 OE Biaya Implementasi di SPBU
Perhitungan OE Biaya Implementasi di SPBU sebesar Rp187.726.365.229,00 (belum termasuk margin & bunga) tersebut di atas tidak ada rincian perhitungan cost structure nya. Harga dan volume yang digunakan untuk menyusun OE biaya implementasi di SPBU hanya berdasarkan harga penawaran dari PT Telkom yang kemudian digunakan untuk penyusunan OE. PT Pertamina tidak menggunakan dokumen pembanding/mencari referensi harga pembanding seperti :
a) Harga barang/jasa yang diperoleh secara langsung melalui internet dan/atau sumber sumber tertulis lainnya;
b) Daftar harga atau penawaran harga pabrikan, Agen/Distributor yang ditunjuk oleh pabrikan, toko, bengkel, fabrikator atau sumber lain yang dapat dipertanggungjawabkan;
c) Hasil analisa harga satuan pekerjaan (cost structure);
d) Perkiraan harga yang disusun oleh konsultan;
e) Hasil analisa pasar (market assesment);
f) Tarif/aturan yang diberlakukan oleh instansi pemerintah, institusi internasional, asosiasi profesional terkait dalam negeri dan luar negeri;
g) Hasil penawaran tender sebelumnya apabila terdapat minimal tiga penawaran harga yang sah; dan
h) Harga pembelian/Kontrak terakhir dengan memperhatikan perkembangan harga dan/atau faktor inflasi.
Berdasarkan pemeriksaan lanjutan diketahui bahwa BoQ untuk komponen biaya implementasi di SPBU tidak dibuat oleh PT Pertamina.
Atas hasil uji petik atas kelebihan perhitungan biaya Insurance (Asuransi), ATG, ATG Console, EDC Printer, Back Up infra dan biaya support tersebut di atas serta memperhitungkan keuntungan & risiko (margin) sebesar 5% maka diperoleh total biaya OTC dan biaya support pengadaan digitalisasi SPBU sebesar Rp2.731.025.889.388,00 atau Rp11,48/liter.
Jumlah tersebut lebih kecil dibandingkan dokumen perhitungan OE dimana total biaya OTC dan support sebesar Rp3.672.866.679.084,00 atau Rp15,44 / liter sehingga terjadi potensi over estimate perhitungan OE sebesar minimal sebesar Rp941.840.789.696,00 atau Rp3,96/liter (Rp15,44 – Rp11,48)/liter.
b. Hasil pelaksanaan pekerjaan oleh PT Telkom Indonesia belum dapat sepenuhnya dimanfaatkan oleh Pertamina
1) Pemasangan infrastruktur
Sampai dengan saat ini telah terpasang infrastruktur pada 5.481 SPBU (99,3%) dari 5.518 SPBU yang direncanakan. Dengan demikian masih terdapat 37 SPBU yang belum dilakukan pemasangan infrastruktur.
Pemasangan infrastruktur pada SPBU tersebut menjadi syarat utama perekaman data digitalisasi yang akan tersimpan dalam cloud server, sehingga apabila infrastruktur belum terpasang data tidak akan dapat diperoleh. Data yang telah tersimpan dalam server dapat dipergunakan oleh user melalui dashboard dan mobile application yang dapat digunakan oleh ESDM, BPH Migas, dan Pertamina.
Berdasarkan pemaparan oleh pihak pertamina, terkait dengan instalasi infrastruktur digitalisasi SPBU terdapat beberapa kendala diantaranya:
a) Network, terdapat gangguan koneksi antara EDC-Printer Server/Server
lokal-Server pusat;
b) Hardware, sparepart terbatas (hanya 3% mengacu kontrak) dan dibutuhkan waktu untuk melakukan perbaikan perangkat. Selain itu terdapat dispenser yang konfigurasinya bukan standar pabrikan karena pernah dilakukan perbaikan tanpa suku cadang asli pabrikan dan
adanya part dispenser yang perlu penggantian;
c) Kelistrikan, adanya suplai listrik yang tidak stabil sehingga dibutuhkan penambahan daya dan adanya perangkat digitalisasi yang rusak akibat system grounding/kelistrikan yang kurang baik;
d) Human error, terdapat pencatatan nomor polisi yang tidak sesuai dengan standard an tidak seluruh pekerja memahami SOP penggunaan perangkat digitalisasi data, terdapat anomali data akibat adanya kesalahan setting system, offline system dan adanya kondisi dispenser di luar settingan pabrik.
2) Pemanfaatan digitalisasi
Dari hasil pengadaan infrastruktur digitalisasi tersebut, Direktur Pemasaran Retail belum dapat memanfaatkan secara optimal sesuai dengan tujuan digitalisasi, diantaranya:
a) Implementasi My Pertamina My Pertamina belum dapat dipergunakan sepenuhnya oleh pelanggan untuk saat ini karena masih terdapat banyak kendala dalam implementasi aplikasi yang dimiliki oleh Pertamina tersebut.
b) Auto replenishment Sampai dengan saat ini, penerapan auto replenishment belum mencakup seluruh SPBU yang terpasang sistem digitalisasi, namun baru digunakan pada 169 SPBU COCO dan 10 SPBU DODO. Kendala yang dihadapi untuk penerapan auto replenishment pada seluruh SPBU yaitu pertamina harus menyiapkan LO secara otomatis, untuk SPBU COCO sebenarnya tidak ada kendala karena masih dibawah pengelolaan pertamina, namun apabila diterapkan pada SPBU DODO diperlukan mekanisme tambahan berupa auto connection untuk menyediakan rekening secara khusus yang akan digunakan oleh pertamina untuk menerbitkan LO.
c) Profiling pengguna BBM Bersubsidi Profiling data penggunaan BBM bersubsidi baru dapat dilakukan pada Tahun 2020 terkait dengan pembelian biosolar dimana operator SPBU melakukan input nomor polisi pelanggan, namun apabila ada operator yang melakukan input data melakukan kesalahan/data tidak valid, maka data tersebut yang akan tersimpan dalam server karena belum ada cross check dengan data nomor kendaraan yang valid dari instansi terkait.
d) Integrasi sistem Dalam dokumen pengadaan dijelaskan bahwa salah satu fokus penerapan digitalisasi pada tahap akhir adalah mengintegrasikan sistem dengan instansi terkait seperti Dinas Dukcapil, Kemensos, Kepolisian, Kementerian Perhubungan, Kementerian Keuangan dan sebagainya. Namun, masih terdapat kendala dalam hal perizinan maupun
kewenangan untuk dapat memperoleh data yang akan digunakan. Sehingga untuk integrasi sistem belum dapat dijalankan sama sekali.
c. Pemborosan keuangan PT Pertamina (Persero) c.q PT Pertamina Patra Niaga sebesar Rp196.437.851.644,00 dan potensi pemborosan keuangan sebesar Rp692.985.566.935,00 atas pembayaran biaya digitalisasi SPBU kepada PT Telkom Indonesia. Pembayaran yang telah dilakukan dari Tahun 2019 sampai dengan 2022 seperti tabel berikut.
Tabel 3. 24 Realisasi Pembayaran Biaya Digitalisasi kepada SPBU
Berdasarkan point a di atas, besaran nilai kontrak seharusnya adalah Rp11,48/liter, sehingga terjadi:
1) Pemborosan keuangan PT Pertamina (Persero) c.q PT Pertamina Patra Niaga sebesar Rp196.437.851.644,00.
Atas selisih realisasi pembayaran sebesar Rp816.333.384.217,00. (15,25 x 53.997.868.691 – pinalti sebesar Rp7.134.113.321,00) dibandingkan dengan perhitungan pembayaran yang wajar yakni sebesar Rp619.895.532.573,00 (11,48 x 53.997.868.691 liter).
2) Potensi pemborosan keuangan PT Pertamina (Persero) c.q PT Pertamina Patra Niaga sebesar Rp692.985.566.935,00 Atas selisih nilai per liter Rp3,77 (Rp15,25 – Rp11,48) dengan volume yang belum tersalur yakni sebanyak 183.815.800.248 liter adalah sebesar Rp692.985.566.935,00 (Rp3,77 x 183.815.800.248 liter).
Selanjutnya, pada tanggal 19 Januari 2022 dilakukan Perjanjian Novasi atas Pokok-Pokok Perjanjian Pengadaan Digitalisasi SPBU Pertamina antara PT Pertamina (Persero) dan PT Pertamina Patra Niaga(PPN) dan PT Telkom atas kontrak Nomor SP-12/C00000/2019-S0 sehingga terkait pelaksanaan pembayaran dilakukan kepada PT Telkom Indonesia terhitung sejak 19 Januari 2022 akan dilakukan oleh PT Pertamina Patra Niaga. Disamping itu, Internal Audit PT Pertamina Patra Niaga juga telah melaksanakan Evaluasi Proyek Digitalisasi SPBU Nomor R-193/J00000/2021-S0 tanggal 31 Desember 2021 tentang Management Letter Hasil Evaluasi Konsultasi Pendampingan atas Pelaksanaan Proyek Digitalisasi SPBU, secara garis besar permasalahan yang diungkapkan dalam LHA Internal Audit PT PPN adalah sebegai berikut:
a) Penetapan nilai backup EDC belum dilengkapi dengan dokumentasi sumber harga yang memadai;
b) Penetapan nilai satuan item link/connectivity belum dilengkapi dengan dokumentasi sumber harga yang memadai;
c) Potensi pengurangan atas biaya item routerI;
d) Penentuan nilai item warehouse, repair dan maintenance senilai Rp26.876.520.000 tidak dilengkapi dengan dokumentasi sumber harga yang memadai;
e) Perubahan FCC merk Enabler dan non Enabler (merk PTS) tidak disertai justifikasi yang memadai;
f) Kurang akuratnya perhitungan biaya personil untuk jasa survei dan pelatihan serta penentuan biaya transportasi & akomodasi tidak dilengkapi dengan sumber harga yang memadai;
g) Justifikasi penambahan item biaya terkait server dan aplikasi sebesar Rp40.829.389.154 tidak memadai;
h) Terdapat pengalihan pekerjaan oleh PT Telkom kepada pihak lain tanpa persetujuan tertulis dari Pertamina.
Atas dasar LHA tersebut, Internal Audit PT PPN memberikan rekomendasi diantaranya melakukan evaluasi harga dan dasar kebutuhan, melakukan negosiasi, dan penyesuaian harga atas kontrak Digitalisasi SPBU.
Menurut BPK, Kondisi tersebut tidak sesuai dengan :
a. Pedoman Pengadaan Barang/Jasa Nomor A-001/K20300/2015-S9 Revisi Ke-3, pada BAB V huruf K terkait Owner’s Estimate (OE) / Harga Perkiraan Sendiri (HPS):
1) OE/HPS merupakan perkiraan harga yang dikalkulasikan secara keahlian, yang digunakan sebagai acuan dalam menilai kewajaran harga;
2) Tanggung jawab penyusunan OE/HPS Pengadaan Barang/Jasa (termasuk OE/HPS yang disesuaikan) beserta pengesahannya berada di Fungsi Pengguna, khusus untuk material stok dan pengadaan secara hybrid, OE/HPS disusun oleh Fungsi Pengadaan;
3) Fungsi Pengguna dalam Menyusun OE/HPS dapat meminta bantuan fungsi terkait lainnya (seperti Fungsi Engineering dan Fungsi Pengadaan) yang pelaksanaannya dapat dilakukan melalui tim lintas fungsi sesuai kebutuhan, termasuk meminta bantuan dari tenaga ahli/konsultan. Apabila penyusunan OE/HPS dilakukan oleh konsultan maka konsultan tersebut dilarang mengikuti proses pengadaan yang terkait dengan OE/HPS yang disusun;
4) Term Of Reference (Ruang Lingkup Pekerjaan dan Tanggung Jawab), pada:
a) Point III terkait Lingkup pekerjaan pada angka 1 yang menyatakan bahwa “Pekerjaan ini menggunakan metode manage services dengan detail pekerjaan meliputi penyediaan sistem dan infrastruktur pendukungnya di 5.518 SPBU”;
b) Point III terkait Lingkup pekerjaan pada Infrastruktur Per SPBU (Rata-rata)
c) Point XVIII terkait Asuransi yang menyatakan bahwa “Selama masa berlakunya Perjanjian, PIHAK KEDUA tidak berkewajiban mengasuransikan semua perangkat yang disewakan. PIHAK KEDUA harus menyediakan asuransi tenaga kerja dan asuransi lainnya yang diwajibkan sesuai ketentuan yang berlaku”.
b. Dokumen Spesifikasi Teknis, pada:
1) Spesifikasi perangkat di SPBU yang menyatakan bahwa “Back Up unit 3% dari total unit”; 2) Development & Maintenance, pada klausul Engineer on Site
Hal tersebut mengakibatkan :
a. Nilai OE untuk program digitalisasi SPBU belum mencerminkan harga yang paling efisien bagi perusahaan; dan
b. Pemborosan keuangan PT Pertamina (Persero) c.q PT Pertamina Patra Niaga sebesar Rp196.437.851.644,00 dan potensi pemborosan sebesar Rp692.985.566.935,00 atas biaya digitalisasi SPBU kepada PT Telkom Indonesia.
BPK Menilai hal tersebut disebabkan oleh:
a. Direktur Pemasaran Retail PT Pertamina (Persero) kurang cermat dalam memberikan persetujuan atas dokumen OE yang telah disusun;
b. Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga kurang proaktif melakukan penyesuaian kontrak atas kondisi aktual yang terjadi di SPBU dan memastikan bahwa pengadaan Digitalisasi SPBU telah dapat dimanfaatkan sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan; dan
c. Sr. Analyst III Digital Transformation, VP RFM dan SVP CICT kurang cermat menyusun OE yang tidak sesuai dengan dokumen Term of Reference (TOR) dan Spesifikasi Teknis pekerjaan.
Atas permasalahan tersebut, Direksi PT Pertamina Patra Niaga sependapat dengan temuan BPK dan menjelaskan bahwa terkait ketidaksesuaian OE dan TOR bahwa OE dan TOR merupakan dokumen perencanaan yang belum tentu realisasinya sesuai dengan item yang direncanakan sehingga selisih tersebut merupakan ketidakhematan dan telah dimulai pembahasan dengan Telkom untuk melakukan perbaikan skema kerjasama.
Perbaikan juga akan dilakukan dalam kegiatan pengadaan di masa yang akan datang. Disamping itu, terkait pemanfaatan sistem digitalisasi yang belum optimal merupakan penambahan fitur dan pengembangan lebih lanjut di luar kontrak digitalisasi SPBU.
Hasil temuan tersebut, BPK merekomendasikan Direksi PT Pertamina (Persero) agar:
a. Menginstruksikan Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga agar melakukan evaluasi dan penyesuaian kontrak dengan PT Telkom Indonesia atas thruput fee per liter sesuai kondisi aktual terjadi di SPBU dan memastikan bahwa tujuan pengadaan digitalisasi SPBU telah sesuai dengan pemanfaatan dan kebutuhan Pertamina ; dan
b. Direksi PT Pertamina (Persero) agar Memberikan arahan dan peringatan secara tertulis kepada para pejabat yaitu Assistant Manager Digital Transformation PT Pertamina (Persero), VP Sales Support PT Pertamina Patra Niaga, dan SVP EIT PT Pertamina (Persero) atas ketidakcermatannya dan selanjutnya meningkatkan pengawasan dan menerapkan prinsip kehati hatian dalam menyusun OE agar sesuai dengan dokumen Term of Reference (TOR) dan spesifikasi teknis pekerjaan agar memberikan hasil pengadaan Digitalisasi SPBU yang efektif dan efisien bagi perusahaan. (TIM)
Leave a Reply