Jurnal8.com| Galesong, Sulawesi Selatan – Di balik sengketa lahan yang mengemuka di Desa Sampulungan, Kecamatan Galesong Utara, sekelompok wartawan tidak hanya berusaha mengungkap fakta, tetapi juga merasakan dan berupaya membantu nasib warga yang terpinggirkan. Dalam penelusuran mereka, kisah sedih dan harapan dari para penghuni lahan menjadi fokus utama, menggugah empati serta keinginan untuk berbagi.
Mendatangi Kerumunan di Pintu Gerbang Desa
Pada Minggu (21/05/2023), tim kami melaju ke Desa Sampulungan setelah mendengar kabar mengenai kerumunan warga. Setibanya di sana, suasana tegang terlihat jelas. Warga berkumpul karena telah terjadi sengketa lahan antara pemilik lahan dan warga yang mendiami lahan tersebut. Upaya kami untuk mendapatkan informasi awal masih belum memberikan kejelasan mengenai akar permasalahan.
Dengan tekad untuk menyelidiki lebih jauh, kami merencanakan kunjungan kembali ke desa tersebut empat hari kemudian. Pencarian fakta dan informasi pun berlanjut, hingga kami akhirnya menemukan dua pihak yang terlibat dalam sengketa tersebut.
Menemukan Titik Temu di Tengah Kesedihan
Pertemuan dengan S.G, seorang pemilik lahan, mengungkapkan bahwa masalah dimulai ketika H.U, pemilik lahan lainnya, menjual tanahnya kepada K.G. Namun, K.G beranggapan bahwa area pematang sebagai miliknya, padahal pematang tersebut adalah akses penting bagi tiga rumah warga yang tinggal di tengah sawah. S.G melaporkan kejadian ini kepada polisi, tetapi musyawarah tidak membuahkan hasil yang memuaskan. K.G tetap melanjutkan pembangunannya, menyisakan keresahan di hati warga.
Pencarian informasi kami berlanjut ke kediaman warga yang terancam kehilangan akses jalan. Di tengah sawah tersebut, kami berkenalan dengan Nia, seorang remaja yang tinggal bersama orangtuanya di salah satu rumah sederhana. Dari Nia, kami mendengar tentang perjuangan hidup keluarganya, yang sehari-hari bergantung pada pekerjaan ayahnya sebagai tukang batu.
Harapan di Tengah Ketidakpastian
Kondisi rumah yang tidak layak huni dan minimnya dukungan sosial menjadi gambaran nyata perjuangan mereka. Nia berbagi, “Kami sudah tinggal di sini selama 13 tahun. Mohon keadilannya, pak.” Air mata Nia mengalir saat mengungkapkan kekhawatirannya jika pematang itu ditutup dan akses rumahnya terhalang.
Kisahnya menggugah hati kami. Sebagai wartawan yang berkomitmen untuk menampilkan kebenaran, kami merasa tidak bisa berdiam diri. Kemanusiaan tidak bisa terpisah dari pekerjaan kami. Dengan demikian, kami memutuskan untuk melakukan aksi nyata dengan memberikan bantuan kepada keluarga-keluarga yang membutuhkan.
Aksi Sosial Wartawan: Mengalir dari Hati yang Peka
Pada Jumat (26/05/2023), kami kembali ke rumah Nia, membawa bantuan berupa beras, mie instan, dan uang tunai. Saat menyerahkan bantuan tersebut, air mata haru tidak bisa tertahan dari wajah mereka. Ucapan terima kasih dan doa panjang umur menyentuh hati kami.
Vicky, Koordinator Liputan, menegaskan, “Bantuan ini bukan untuk pamer, tetapi sebagai bentuk kepedulian media terhadap masyarakat. Membantu tidak harus menunggu kaya; keikhlasan adalah kunci.”
Dalam momen sederhana tersebut, kami merasakan kebahagiaan yang mendalam. Senyuman di wajah mereka adalah tanda bahwa harapan dan solidaritas masih hidup, meski dalam situasi yang sulit.
Refleksi: Media sebagai Agen Perubahan
Kisah ini bukan hanya tentang sengketa lahan, tetapi juga tentang solidaritas dan keinginan untuk memberi. Wartawan sering kali dianggap sebagai pengamat, namun dalam kasus ini, kami berperan aktif sebagai jembatan antara masyarakat dan harapan yang lebih baik. Melalui cerita ini, kami berharap bisa menginspirasi lebih banyak orang untuk berbuat kebaikan, meskipun dalam skala kecil. Kemanusiaan tetap menjadi prioritas utama, di mana setiap tindakan kecil bisa membawa dampak yang besar.
Sebagai penutup, kami ingin mengajak semua pihak untuk lebih peka terhadap kebutuhan sesama, karena dalam setiap cerita yang diangkat, ada kehidupan yang layak diperjuangkan. (@icky)
Leave a Reply