Oleh Ir. Aminuddin Maddu, SE, S.IkomOleh Ir. Aminuddin Maddu, SE, S.Ikom
Jurnal8.com| Opini,- Hingga saat ini sejak dilaksanakan pemilihan umum (pemilu) dari masa ke masa mulai dari orde lama pemerintahan Soekarno sampai era reformasi saat ini, belum menunjukkan pemilu demokratis yang sehat sesuai regulasi hukum dan nilai-nilai moral.
Pelaksanaan pemilu pada masa pemerintahan Soeharto dapat dinilai sebagai pemilu demokrasi otoriter, yang tidak netral dalam penyelenggaraan pemilu, dimana terdapat satu peserta pemilu yang dilindungi sebagai partai penguasa yaitu Golongan Karya.
Pada masa reformasi, pelaksanaan pemilu beralih dari praktik otoriter ke praktik politik uang (money politic). Pada awal era reformasi praktik money politic tidak begitu terasa alias biasa-biasa saja terkait dengan money politic.
Namun dalam perkembangannya dari pemilu ke pemilu sampai memasuki pemilu ke 6 pada tahun 2024 ini, praktik Money Politic tambah merajalela luar biasa.
Kejahatan praktik Money Politic dalam pemilu dapat berimplikasi luas yang multidimensi. Idealisme, moral, keahlian dan kemampuan, bersaing dengan kekuatan uang dalam memperebutkan kursi legislative dan pemimpin pemerintahan.
Seorang calon legislatif (caleg) yang tidak mempunyai rekam jejak yang baik dan kompoten, dapat terpilih hanya karena mengandalkan permainan money politik (membagi bagi bagikan duit)
Sehingga ketika para oknum caleg atau oknum kepala daerah tersebut terpilih (yang telah menghabiskan milyaran rupiah selama kampanye) maka bisa saja, si oknum akan berupaya dengan cara apapun mengembalikan biaya yang telah ia keluarkan meski dengan melanggar hukum.
Disisi lain pihak-pihak yang berkepentingan (sponsor atau penyandang dana para oknum tersebut yang rela – red) tentu saja rela mengeluarkan uangnya untuk membiayai para caleg atau kandidat tertentu dengan maksud dapat mengatur kebijakan oknum jika terpilih untuk melanggengkan kepentingannya.
Dan yang terjadi kemudian adalah para pelaku money politic-lah yang berkuasa mengatur kebijakan pemerintahan negara, bukan sang idealis, moralis, professional apalagi para ahli yang kompeten namun tidak cukup finansialnya.
Sebagai akibatnya muncullah korupsi bertebaran dimana-mana, pejabat birokrsasi, legislator, pemimpin daerah, penegak hukum, pengusaha yang pada di tangkap dan dipenjara, karena terseret kejahatan korupsi. Demi kepentingan kekuasaan dan materi hukum dapat di perjual belikan.
Tujuan dilaksanakannya pemilu adalah untuk menyeleksi para penyelenggara pemerintahan negara, baik legislatif maupun eksekutif yang dapat membentuk pemerintahan yang demokratis, bersih dan memperoleh dukungan dari rakyat untuk mewujudkan tujuan nasional sesuai Undang-Undang Dasar 1945.
Menurut UU Nomor 7 Tahun 2017, termaktub dalam pasal 4 menyatakan bahwa tujuan pemilu adalah untuk memperkuat system ketatanegaraan yang demokratis, mewujudkan pemilu yang adil dan berintegritas, menjamin konsistensi pengaturan pemilu, dan mewujudkan pemilu yang efektif dan efisien.
Tujuan tersebut diatas tidak akan terwujud jika masih banyaknya terjadi pelanggaran hukum khususnya praktik money politic dalam setiap pelaksanaan pemilu.
Dari sudut pandang apapun tidak ada paham yang membenarkan adanya praktik money politic dalam pelaksanaan pemilu. Sadar atau tidak, praktik money politic adalah melanggar Pancasila sebagai dasar negara, yang merupakan sumber hukum utama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dalam pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945 disebutkan bahwa, Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, yang merupakan sila pertama Pancasila yang mengandung makna bahwa setiap penganut agama di Indonesia sejatinya mengamalkan nilai-nilai agama sesuai keyakinannya masing-masing.
Pada dasarnya semua agama mengajarkan kebaikan, dan mencegah berbuat kejahatan yang dapat merugikan orang lain atau merusak lingkungan hidup . Secara khusus praktik money politic dalam ajaran islam adalah termasuk perbuatan suap (sogok) yang di larang keras dan tempatnya adalah neraka.
Hal ini juga dijelaskan Rasulullas SAW dalam sebuah hadistnya beliau bersabda “Penyogok dan yang menerima sogokan sama-sama masuk neraka Jahannam” ( HR Bukhari dan Muslim)
Berdasarkan uraian di atas dan fakta-fakta yang kita dapat saksikan akibat kejahatan praktik money politic yang ada di sekitar kita, maka reformasi hukum pemilu adalah suatu keniscayaan untuk segera dilakukan.
*Kata Kunci: Tujuan Pemilu, Money Politic, Reformasi Hukum*
Sejarah kepemiluan di Indonesia dilaksanakan sejak masa pemerintahan Soekarno yang dikenal dengan orde lama pada tahun 1955 yang dalam pelaksanaanya dinilai cukup demokratis, namun berujung fatal dengan mudahnya partai dibubarkan dan lebih tragis lagi dengan adanya peristiwa pemberontakan G30S (Gerakan 30 September).
Pada masa pemerintahan Soeharto yang dikenal dengan orde baru, pemilihan umum (pemilu) dilaksanakan pada tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992 dan 1997. Pelaksanaan pemilu di era orde baru sangat tidak demokratis. Bagaimana tidak, pada pemilu tahun 1971 pesertanya 10 Partai, dan setelah itu pada pemilu tahun 1977 diciutkan menjadi hanya 3 (tiga) peserta pemilu yaitu Golongan Karya (Golkar), Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI).
Dalam setiap pemilu di era Soeharto, berbagai institusi negara diarahkan untuk memenangkan Golkar (dulu tidak disebut Partai). Aparatur Pegawai Negeri Sipil (PNS) di wajibkan masuk Golkar, dan para aparat negara lainnya yang seharusnya sebagai wasit dan netral, namun berpihak mendukung Golkar.
Akibat dari itu, maka merajalelalah apa yang dinamakan KKN (Kolusi, Korupsi dan Nepotisme) yang jauh dari praktik demokrasi yang sehat. Siapa yang dekat dengan lingkaran kekuasaan, itu yang dengan mudah mendapatkan berbagai fasilitas kemudahan.
Hal-hal tersebut yang menjadi alasan utama Soeharto didemo besar-besaran hingga mengundurkan diri, dan lahirlah pemerintahan baru bernama Reformasi pada tanggal 21 Mei 1998.
. Memasuki era reformasi pelaksanaan pemilu bukannya tambah baik dari yang sebelumnya. Meskipun era ini ada pihak yang menilai bahwa Indonesia adalah termasuk negara demokrasi terbesar didunia, namun sebenarnya menyimpan begitu banyak permasalahan.
Kita dapat saksikan berbagai bentuk pelanggaran dan penyalahgunaan wewenang, hingga yang paling rusak adalah adanya praktik Politik uang (Money Politics) yang begitu marak setiap pelaksanaan pemilu, dan belum ada tanda-tanda praktik money politic bisa dihapus.
Menurut penulis, bilamana Money Politic tidak segera di cegah, maka Indonesia bisa terperangkap ke dalam multi krisis yang membahayakan dalam berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara.
Akan terjadi krisis moral, krisis konstitusi, dan merambat kedalam krisis social dan ekonomi berupa adanya ketimpangan yang tajam antara sikaya dan simiskin.
Dapat dibayangkan dengan maraknya praktik Money Politic, maka yang akan terjadi adalah hanya caleg atau kandidat yang mempunyai uang cukup banyak yang dapat terpilih dalam setiap pemilu, meskipun yang bersangkutan tidak layak dari segi moral, intelektual dan kapasitas.
Sebagai penyebab terjadinya praktik money politic adalah dalam penegakkan hukum yang lemah, mengakarnya keserakahan, masih rendahnya moral, dan kondisi social masyarakat yang masih banyak bergulat dalam kemiskinan.
Sebagai solusi dari permasalahan diatas adalah segera dilakukan Reformasi Hukum Pemilu berbasis yuridis dan etis yang dapat menutup celah terjadinya praktik Money Politic.
*Rumusan Masalah:*
1. Bagaimana Pengaturan Hukum Pemilu saat ini dalam mengatur tentang perilaku Money Politic?
2. Bagaimana Reformasi Hukum Pemilu dalam mencegah Praktik Money Politic berbasis Yuridis dan Etis di Indonesia?
*Metode Pemilihan*
Metode Penelitian yang digunakan dalam bahasan ini adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach), studi kasus (case approach) dan pendekatan konsep/teori (conseptual approach), yaitu dengan menelaah dan mengkaji berbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan isu-isu atau permasalahan Money Politic dalam pelaksanaan pemilu di Indonesia.
Mencari modus operandi kasus yang pernah terjadi, factor-faktor penyebab dan pihak-pihak pelaku Praktik Money Politic, kemudian membuat konsep hukum/norma yang baik supaya tidak terjadi pelanggaran Money Politic dalam pemilu.
*Pembahasan*
Pengertian Money Politic adalah suatu upaya memengaruhi pilihan pemilih (voters) atau penyelenggara pemilu dengan imbalan materi atau yang lainnya. Dari pemahaman tersebut, money politic adalah merupakan salah satu bentuk suap.
Merujuk kepada laman resmi KPK, mendefinisikan pengertian Money Politic adalah sebuah upaya mempengaruhi pilihan pemilih (voters). Bukan hanya sebatas pemilih saja, money politic juga menyasar terhadap penyelenggara pemilu dengan imbalan materi atau yang lainnya.
Praktik tersebut memunculkan para pemimpin yang hanya peduli kepada kepentingan pribadi dan/atau golongan, bukan pada masyarakat yang memilihnya. Pasalnya politikus merasa berkewajiban mencari keuntungan dari jabatannya, sebagai salah satunya adalah untuk mengembalikan modal yang telah dikeluarkan sepanjang masa kampanye.
Direktur Sosialisasi dan Kampanye Anti Korupsi KPK Amir Arif mengatakan, bahwa money politic telah menyebabkan politik berbiaya mahal. Dari hasil kajian menunjukkan, bahwa keberhasilan dalam pemilu atau Pilkada 95,5 persen dipengaruhi oleh kekuatan uang, sebagian besar juga untuk membiayai mahar politik. Kontestan harus mengeluarkan Rp 5 – 15 milyar per orang untuk ini, “ujar Amir mengutip laman KPK”
Bagaimana Pengaturan Hukum Pemilu saat ini dalam mengatur tentang perilaku Money Politik
Dasar hukum larangan Money Politic dalam pemilu diatur dalam UU No. 7 Tahun 2017 Pasal 93 huruf (e), untuk mencegah terjadinya praktik Money Politic. Cara kerja money politic biasanya terjadi sejak sebelum kampanye, saat kampanye, masa tenang, saat pemungutan suara hingga selesai pemungutan suara. Beraneka ragam praktik money politic, dapat berupa pemberian uang atau barang, maupun janji kepada para pemilih, jika memberikan suaranya kepada calon tertentu.
Terdapat beberapa pasal dalam Peraturan Peundang-undangan mengenai hukum pemilu yang mengatur dan/atau berkaitan dengan perilaku money politic sebagai berikut:
1. Didalam pasal 280 ayat (1) huruf j Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, dan Pasal 72 angka (1) huruf J Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 15 tahun 2023 tentang Pemilihan Umum mengenai larangan dalam kampanye dengan bunyinya yang sama yaitu: menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada peserta Kampanye Pemilu.
2. Ketentuan Pidana Pemilu
a. Dalam Pasal 521 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, yang menyebutkan bahwa: Setiap pelaksana, peserta dan/atau tim Kampanye Pemilu yang dengan sengaja melanggar larangan pelaksanaan Kampanye Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 280 ayat (!) huruf a, haruf b, huruf c, haruf d, hruruf e, huruf f, huruf g, hauruf h, atau huruf j dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak RP 24.000.000,- (dua puluh empat Juta rupiah);
b. Dalam Pasal 523 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, yang menyebutkan sebagai berikut:
(1) Setiap pelaksana, peserta dan/atau tim Kampanye Pemilu yang dengan sengaja menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada peserta Kampanye Pemilu secara langsung ataupun tidak langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 280 ayat (1) huruf j dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak RP 24.000.000,- (dua puluh empat Juta rupiah);
(2) Setiap pelaksana, peserta dan/atau tm Kampanye Pemilu yang dengan sengaja pada Masa Tenang menjanjikan atau memberikan imbalan uang atau materi lainnya kepada Pemilih secara langsung ataupun tidak langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 278 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan denda paling banyak RP 48.000.000,- (empat puluh delan Juta rupiah);
(3) Setiap pelaksana, peserta dan/atau tim Kampanye Pemilu yang dengan sengaja pada hari pemungutan suara menjanjikan atau memberikan imbalan uang atau materi lainnya kepada Pemilih untuk tidak menggunakan hak pilihnya atau memilih Peserta Pemilu tertentu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak RP 36.000.000,- (tiga puluh enam Juta rupiah);
Unsur-Unsur Dalam Pusaran Praktik Money Politik
Secara garis besar unsur-unsur pelaku praktik money politic dalam pelaksanaan pemilu terdiri atas Pemberi dan Penerima Money Politic.
1. Pemberi Money Politic (suap) meliputi sebagai berikut:
a. Calon Legislatif, yang melakukan praktik Money Politic dengan sengaja menjanjikan atau memberikan sesuatu berupa uang, harta atau barang kepada para pemilih dan/atau penyelenggara pemilu,
b. Partai Politik, memiliki kepentingan untuk melakukan praktic money politic dengan sengaja menjanjikan atau memberikan sesuatu berupa uang, harta atau barang kepada penyelenggara pemilu agar dapat memenangkan para caleg atau kandidatnya dalam kontestasi pemilu;
c. Pihak yang berkepentingan semisal oligarki, adalah yang memiliki kepentingan terhadap peserta pemilu (Calon Legislatif, atau kandidat Pemimpin Pemerintahan) dapat masuk kedalam pusaran praktik money politic dengan memberikan uang, harta atau barang baik langsung maupun tidak langsung kepada pemilih dan/atau penyelenggara pemilu dengan harapan dapat melindungi dan melanggengkan berbagai kepentingannya kelak.
2. Penerima Money Politic (suap) yaitu:
a. Warga pemilih, masih begitu banyak masyarakat pemilih yang mengharapkan bahkan mengejar pemberian uang, harta atau barang dalam pemilu, terutama serangan fajar menjelang pencoblosan. Masyarakat terang-terangan dan tidak ada rasa malu mengungkapkan dan meminta uang langsug kepada para caleg atau peserta dan/atau tim Kampanye Pemilu.
b. Penyelenggara Pemilu, sudah begitu banyak oknum penyelenggara pemilu yang terseret kasus praktik money politik, ada yang sampai tertangkap basah, dipenjara dan dipecat. Beberapa contoh kasus money politic, seperti yang terjadi terhadap Anggota KPU Kota Prabumulih yang diusut oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) yang terbukti menerima suap dari salah satu calon anggota Legislatif dengan menjanjikan sebanyak 20 ribu suara.
Begitu juga dengan perkara No. 65-PKE-DKPP/VI/2020, DKPP menjatuhkan sanksi pemberhentian tetap kepada KPU Kabupaten Maluku Tenggara Barat yang terbukti menerima uang dan manjanjikan perolehan suara bagi Calon Legislatif
c. Pejabat Penegak Hukum, pejabat/ oknum penegak hukum rawan terseret kasus melawan hukum praktik Money Politic, sebagai contoh terjadi pada hakim Mahkamah konstitusi (MK) Aqil Muchtar dan Patrialis Akbar yang menangani kasus sengketa pemilu.
d. Lembaga Birokrasi Pemerintahan, banyak kita saksikan adanya birokrasi pemerintahan yang aktif mendukung kandidat/peserta pemilu tertentu, dengan secara kelembagaan menggolontarkan program-program bantuan kepada masyarakat disaat menjelang pelaksanaan pemilu, yang dapat diduga terindikasi penyalahgunaan wewenang untuk kepentingan politik kepada pihak tertentu.
Penulis| Mahasiswa Ilmu Hukum UT Dan juga Pemerhati masalah masalah sosial, Politik
Leave a Reply