“Cita-Cita yang Berubah Haluan”

Jurnal8.com|Ujang, seorang pemuda 24 tahun dari sebuah desa kecil di pedalaman, memiliki mimpi yang telah ia pelihara sejak kecil: menjadi seorang Tentara Nasional Indonesia (TNI). Di tengah kehidupan sederhana yang penuh keterbatasan, mimpi itu tumbuh subur, menjadi cahaya yang menuntunnya melangkah setiap hari. Setelah menamatkan sekolah menengah kejuruan (SMK), Ujang bekerja keras menabung dari upah yang tidak seberapa, dengan tekad suatu hari akan membawanya ke kota besar untuk mendaftar sebagai prajurit TNI.

Akhirnya, setelah bertahun-tahun memendam harapan, Ujang merasa waktunya telah tiba. Ia berpamitan pada kedua orang tuanya, meninggalkan desa dengan bekal doa dan sedikit uang tabungan. Langkahnya berat, bukan karena keraguan, tapi karena beratnya meninggalkan rumah dan kampung halaman yang selalu menjadi tempat ia berpulang. Namun, keinginan untuk mewujudkan mimpinya lebih kuat dari apapun.

Setibanya di Makassar, Ujang merasa asing di tengah hiruk-pikuk kota besar. Tidak ada sanak saudara atau teman yang bisa dijadikan tempat bersandar. Dengan uang yang terbatas, ia menyewa kamar kos kecil di Jalan Muhammad Tahir, Kelurahan Jongaya, Kecamatan Tamalate. Kamar itu sederhana, dengan dinding yang mulai mengelupas dan tempat tidur yang seadanya, tapi bagi Ujang, itu cukup. Ia berjanji pada dirinya sendiri untuk hidup hemat, mengatur uang yang ada dengan cermat, karena ia tahu bahwa perjuangan sesungguhnya baru akan dimulai.

Hari-hari Ujang di kota diisi dengan latihan fisik. Setiap pagi, ia berlari di sepanjang pantai Barombong, menghirup udara segar dengan harapan bisa menguatkan tubuhnya. Sore harinya, ia berenang di laut, mengayuh sekuat tenaga, seakan berenang melawan arus mimpi dan realitas. Meskipun sendirian, ia tidak merasa kesepian; impian menjadi tentara yang selalu ia bayangkan membuatnya tetap semangat.

Bulan September akhirnya tiba, saat yang dinantikan. Pendaftaran bintara TNI dibuka, dan Ujang merasa seluruh usahanya selama ini akan segera terbayar. Dengan mengenakan pakaian terbaiknya, ia berangkat ke markas TNI, mengendarai motor matic tua yang dibelinya dengan susah payah. Di markas, ia mendaftarkan diri dengan hati penuh harapan, membayangkan masa depan sebagai prajurit yang gagah berani, melindungi tanah airnya.

Namun, hidup seringkali tidak sejalan dengan rencana. Sebulan kemudian, pengumuman kelulusan calon bintara TNI dirilis secara online. Ujang duduk di pojok kamarnya, menggenggam ponsel dengan tangan gemetar. Ia berdoa dalam hati, berharap namanya termasuk dalam daftar. Namun, ketika matanya menyusuri nama-nama yang lolos, ia tidak menemukan namanya di sana. Dunia seakan runtuh di hadapannya. Kekecewaan mendalam menyelimuti hati Ujang. Impian yang selama ini ia kejar sirna dalam sekejap, meninggalkan kehampaan yang sulit diisi.

Waktu terus berjalan, dan lambat laun, Ujang mulai menerima kenyataan. Ia mulai membangun kehidupan baru di Makassar. Tahun berganti, dan Ujang pun menikah, membangun keluarga kecil yang penuh kasih sayang. Anak-anaknya menjadi cahaya dalam hidupnya, memberikan makna baru yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. Anak sulungnya kini duduk di bangku SMA, sementara anak bungsunya masih bersekolah di SD. Setiap hari, Ujang bekerja keras untuk keluarganya, memberikan yang terbaik meskipun tidak banyak.

Namun, impian masa lalunya tidak pernah benar-benar hilang. Di dalam hati, Ujang masih merindukan seragam hijau tentara yang pernah ia impikan. Suatu hari, menjelang magrib, Ujang mengenakan baret merah dan seragam loreng dari organisasi masyarakat (ormas) tempatnya bergabung. Bukan sebagai prajurit TNI seperti yang ia impikan dulu, tapi sebagai anggota yang ikut menjaga keamanan lingkungan. Dengan langkah tenang, ia menghampiri anak bungsunya yang sedang bermain di halaman rumah.

Di bawah cahaya senja, Ujang merangkul anaknya dengan penuh kasih. Meskipun hidupnya tidak berjalan seperti yang ia bayangkan, Ujang telah menemukan kebahagiaan dalam hal-hal kecil—dalam cinta keluarga, dalam kehadiran anak-anaknya, dan dalam peran yang ia jalani saat ini. Ia sadar, bahwa kadang-kadang, jalan hidup yang berbeda dari yang kita rencanakan justru membawa kita ke tempat yang lebih bermakna.

Ujang tersenyum, memandang ke kejauhan. Impian lamanya mungkin tidak tercapai, tapi ia telah menemukan sesuatu yang lebih berharga: cinta, keluarga, dan kekuatan untuk menerima kenyataan. Meskipun tidak menjadi tentara, Ujang telah menjadi prajurit sejati dalam kehidupan, yang berjuang tanpa henti untuk orang-orang yang ia cintai.

Namun, perlu diingat, kisah Ujang ini hanyalah cerita fiksi—buah dari imajinasi yang mencoba menggambarkan perjuangan, harapan, dan kenyataan hidup yang kadang tak terduga. Meski tokoh dan peristiwa dalam cerita ini tidak nyata, pesan yang terkandung di dalamnya adalah refleksi dari banyak perjalanan hidup yang sebenarnya. Sebuah pengingat bahwa dalam setiap langkah kita, ada pelajaran berharga yang bisa dipetik, bahkan ketika harapan yang kita bangun harus berbelok arah. (by icky)

Leave a Reply