JAKARTA, JURNAL8.COM| Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta baru-baru ini menguatkan putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat yang menjatuhkan hukuman dua tahun enam bulan penjara kepada Achsanul Qosasi.
Achsanul, mantan anggota III nonaktif Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), terlibat dalam kasus dugaan korupsi terkait proyek penyediaan infrastruktur base transceiver station (BTS) 4G Badan Aksesbilitas Telekomunikasi dan Informasi (Bakti) Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo).
“Menguatkan putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 26/Pid.Sus-TPK/2024/PN Jkt.Pst tanggal 20 Juni 2024 yang dimintakan banding tersebut,” demikian bunyi amar putusan banding yang dikutip dari situs Mahkamah Agung (MA), Jumat (9/8/2024).
Vonis ini, yang diketuk pada Kamis (8/8/2024) oleh Majelis Hakim yang dipimpin Hakim Sumpeno bersama Hakim Branthon R. Saragih dan Hakim Nelson Pasaribu, dinilai terlalu ringan mengingat besarnya kerugian negara.
Achsanul terbukti secara sah menerima uang sebesar 2,6 juta dolar Amerika Serikat atau setara Rp 40 miliar terkait proyek BTS 4G.
Hukuman yang dijatuhkan jauh lebih rendah dibandingkan tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) pada Kejaksaan Agung (Kejagung) yang menuntut hukuman lima tahun penjara dan denda Rp 500 juta. Selain pidana badan, Achsanul juga dikenai denda Rp 250 juta dengan ketentuan jika denda tidak dibayar akan diganti dengan pidana kurungan selama empat bulan.
Kritik Terhadap Putusan
Setelah pembacaan putusan, kuasa hukum Achsanul, Soesilo Aribowo, menganggap vonis 2,5 tahun masih terlalu berat.
Ia berpendapat bahwa seharusnya kliennya hanya divonis satu tahun jika benar-benar terbukti melakukan korupsi terkait proyek BTS 4G. “Kalau itu Pasal 11, seharusnya minimal satu tahun. Kalau 2,5 tahun masih agak berat sebenarnya,” ujar Soesilo pada 20 Juni 2024. Kepada awak media
Namun, kritik utama muncul dari Kejaksaan Agung. Kejagung RI menyatakan akan mengajukan banding terhadap vonis tersebut.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Harli Siregar menyebutkan bahwa hukuman 2,5 tahun penjara untuk Achsanul Qosasi belum memenuhi rasa keadilan masyarakat. “Putusan tersebut belum memenuhi keadilan hukum bagi masyarakat,” kata Harli dalam keterangannya kepada awak media, 27 Juni 2024.
Keadilan yang Tidak Seimbang
Kasus ini menyoroti ketidakadilan yang mencolok dalam sistem peradilan. Hukuman untuk pelaku korupsi yang merugikan negara hingga puluhan miliar rupiah ternyata jauh lebih ringan dibandingkan dengan hukuman untuk kasus kejahatan kecil seperti maling ayam. Kejadian ini menegaskan perlunya reformasi mendalam dalam sistem hukum agar sanksi terhadap pelaku korupsi lebih mencerminkan besarnya dampak yang mereka timbulkan terhadap masyarakat.
Sekretaris Forum Jaringan Informasi Masyarakat Anti Korupsi (FORJIMAK) Mustakim Ds menambahkan, “Alasan utama mengapa korupsi disebut kejahatan luar biasa adalah karena daya rusaknya yang besar. Korupsi pada berbagai sektor telah menyebabkan kerugian negara yang masif.”
Mustakim menjelaskan bahwa kerugian tersebut belum termasuk biaya sosial korupsi yang jumlahnya pasti lebih besar lagi. “Dalam hal ini, tentu saja masyarakat yang paling merasakan dampaknya. Bayangkan jika uang puluhan triliun rupiah tersebut digunakan untuk pembangunan sarana dan prasarana untuk kebaikan rakyat, seperti rumah sakit atau sekolah. Itulah sebabnya, negara dengan angka korupsi yang besar sulit untuk maju dan mengentaskan kemiskinan.”
Mustakim juga menegaskan bahwa pelaku korupsi harus dihukum dengan berat. “Salah satu indikasi mengapa korupsi adalah kejahatan luar biasa adalah hukuman berat bagi pelakunya.
Di Indonesia, hukuman bagi koruptor diatur dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam UU tersebut, pelaku tindak pidana korupsi bisa dihukum penjara seumur hidup dengan denda miliaran rupiah.
Beberapa negara bahkan telah menerapkan hukuman mati bagi para koruptor, di antaranya China, Iran, Irak, dan Korea Utara. Hal ini menunjukkan bahwa korupsi adalah kejahatan berat yang mesti dihukum dengan berat pula.”
Namun, kenyataannya, terdakwa Achsanul, mantan anggota III nonaktif Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), yang terlibat dalam kasus dugaan korupsi terkait proyek BTS 4G, hanya dijatuhi hukuman ringan, yaitu 2,5 tahun penjara. “Dimana rasa keadilan?” tambah Muksim. (By icky)