“Misi Martabak Medan: Dari Warung Kopi ke Dunia Jurnalistik”

Jurnal8.com| Pada suatu sore yang cerah di warung kopi Pjok di Jalan Lamadukelleng, Makassar, tiga pemuda dengan nama-nama unik sedang asyik menyeruput kopi sambil membahas ide-ide mereka. Mereka adalah Lahuddu (32), Lacapila (35), dan si Lolleng (37). Warung kopi ini dikenal sebagai tempat nongkrong favorit mereka, tempat mereka bisa mencetuskan ide-ide gila sambil menikmati kopi dan cemilan.

Lahuddu, yang duduk dengan semangat membara, memulai percakapan, “Gimana kalau kita bikin media cetak? Bayangkan kita bisa jadi terkenal dan berpengaruh!”

Lacapila, yang sedang sibuk menuangkan susu ke dalam kopinya dengan penuh gaya, menimpali, “Wah, ide yang brilian, Lahuddu! Akhirnya kita bisa punya sesuatu yang bikin orang-orang ngomongin kita!”

Si Lolleng, si pengamat cermat yang sering kali jadi suara akal sehat di kelompok ini, memandang mereka dengan serius, “Oke, ide bagus. Tapi, nama media kita apa?”

Lahuddu, yang sepertinya telah memikirkan ini dengan matang, menjawab dengan penuh percaya diri, “Bagaimana kalau kita namakan Martabak Medan? Kedengarannya unik dan pasti bikin orang penasaran!”

Lacapila, yang hampir tersedak kopinya karena mendengar nama itu, bertanya, “Martabak Medan? Kenapa nama itu? Apa nggak ada nama lain yang lebih profesional?”

Si Lolleng, tidak bisa menahan tawanya, “Haha, Martabak Medan? Kamu ini benar-benar kreatif, Lahuddu. Kamu cuma mau martabak gratis, ya?”

Lahuddu dengan penuh semangat menjelaskan, “Iya! Bayangkan kalau kita namakan media kita Martabak Medan, kita bisa ajak semua penjual martabak di kota untuk kerja sama. Dan, kita bisa dapat martabak gratis setiap hari! Bayangkan!”

Lacapila, yang semakin penasaran dengan ide ini, menambahkan sambil menyantap onde-onde, “Oke, Lahuddu. Kedengarannya gila, tapi itu justru bisa berhasil. Ayo kita coba!”

Si Lolleng, meski masih sedikit skeptis, bertanya, “Tapi, siapa yang akan kita ajak kerja sama? Jangan sampai nanti cuma kita bertiga yang makan martabak, ya.”

Lahuddu menjawab dengan penuh keyakinan, “Tenang, Si Lolleng. Kita akan ajak semua penjual martabak di Makassar. Ini akan jadi sesuatu yang besar!”

Lacapila, yang merasa dirinya ahli dalam urusan formalitas, berkata dengan penuh percaya diri, “Saya yang akan urus pembuatan PT-nya. Sekarang bikin PT murah banget, cuma lima puluh ribu!”

Si Lolleng tertawa, “Lima puluh ribu untuk bikin PT? Murah banget! Kamu yakin ini legal, Lacapila?”

Lacapila dengan serius, “Iya, legal kok. Saya yang urus semuanya sambil menikmati onde-onde ini. Jadi, jangan khawatir, Si Lolleng.”

Lahuddu, yang semakin bersemangat, berkata, “Oke, saya akan minta teman saya untuk desain media kita. Kita bakal bikin gebrakan!

Si Lolleng, yang sudah membayangkan dirinya menjadi jurnalis terkenal, berkata, “Akhirnya, kita punya media sendiri! Saya mau liput berita dari kantor polisi. Pasti banyak cerita lucu di sana!”

Lacapila menambahkan dengan penuh semangat, “Dan saya akan liput pusat pembuatan SIM. Bayangkan semua kejadian lucu di sana!”

Lahuddu, yang merasa semua sudah siap, menutup pertemuan dengan nada ringan, “Oke, sebelum kita bubar, mari kita bayar kopi. Oh, dan jangan lupa bayar onde-onde—treat dari Lacapila!”

Lacapila mengerutkan kening dan berkata, “Oh, come on! Saya yang urus PT, dan sekarang harus bayar kopi juga? Fair enough?”

Mereka tertawa bersama, menyadari betapa konyolnya ide mereka tapi juga betapa serunya petualangan ini. Dengan nama “Martabak Medan,” ketiga pemuda ini berhasil mengubah sore di warung kopi menjadi sebuah petualangan penuh tawa.

Epilog:
Setelah beberapa minggu penuh tawa dan kerja keras, media “Martabak Medan” akhirnya lahir. Meskipun tidak semua penjual martabak bergabung, mereka berhasil memulai sebuah blog dengan banyak artikel konyol dan berita yang menghibur.

Meskipun tidak menjadi media cetak besar seperti yang mereka bayangkan, mereka sukses membuat banyak orang tersenyum.

Dan tentu saja, mereka tetap mendapatkan martabak gratis dari beberapa teman penjual martabak yang mereka ajak kerja sama. Jadi, meskipun perjalanan mereka tidak seperti yang mereka rencanakan, mereka akhirnya menemukan kebahagiaan dalam persahabatan dan tawa

Cerita ini fiktif dan penuh humor. Jika Anda merasa terinspirasi untuk memulai media cetak, pastikan ide Anda tidak terlalu membuat perut lapar—atau Anda mungkin berakhir dengan perut kenyang tapi dompet kosong! (by icky)

 

Leave a Reply