Jurnal8.com|Selamat datang di suasana hangat sebuah kedai kopi di Jalan Madukelleng, tempat di mana semangat diskusi dan aroma kopi bertemu dalam sebuah perdebatan seru. Di meja pojok dekat jendela, lima pemuda paruh baya yang dikenal dengan julukan unik mereka—La Huddu, La Capila, La Attu, La Tardes, dan La Tedong—sedang terlibat dalam diskusi yang memanas.
Kedai kopi ini bukan hanya tempat untuk menikmati secangkir kopi, tetapi juga menjadi panggung bagi para tokoh lokal kita untuk berdebat tentang masa depan politik daerah mereka. Dengan gaya bicaranya yang khas, mereka tidak hanya membahas siapa calon pemimpin yang paling layak, tetapi juga merencanakan strategi politik yang penuh warna.
Dalam suasana yang dipenuhi gelak tawa dan candaan, mereka berdiskusi tentang calon bupati dan walikota, lengkap dengan rencana jangka panjang dan utang janji yang belum lunas. Dengan penuh semangat dan sedikit kekonyolan, mereka berusaha mencari solusi yang terbaik sambil menikmati segelas kopi dan kue kering.
Mari kita ikuti perbincangan hangat mereka dan lihat bagaimana kelima tokoh ini, dengan gaya unik mereka, mencoba merancang masa depan politik sambil berbagi tawa dan strategi. Apakah mereka akan menemukan calon yang tepat, atau justru menghadapi lebih banyak tantangan? Ikuti terus cerita ini dan saksikan bagaimana mereka mengatasi semua permasalahan dengan cara mereka yang khas.
Di sebuah kedai kopi yang terletak di Jalan Madukelleng, suasana sore itu terasa hangat dan penuh semangat. Lima pemuda paruh baya yang dikenal dengan julukan “Lahuddu” tengah berkumpul di meja pojok dekat jendela. Meja mereka dipenuhi cangkir kopi, kue kering, dan sedikit kekacauan akibat perdebatan yang semakin memanas.
“Jadi, calon bupati dan walikota mana yang kita pilih? Yang paling cuan atau yang paling… eh, bisa diandalkan?” tanya La Capila, sambil menyandarkan dagunya di telapak tangan, matanya menatap secangkir kopi yang sudah hampir kosong.
La Huddu, si “Watawang”, dengan penuh percaya diri menjawab, “Kalau saya sih, pilih yang banyak do’e-na! Semakin banyak duitnya, semakin aman posisinya. Itu sudah terbukti.”
La Capila mengerutkan keningnya. “Ah, jangan cuma mikir duit, La Huddu. Kalau orangnya cuma bisa janji-janji tapi nggak ada tindakan, sama saja. Kita butuh calon yang bisa beneran kerja, bukan cuma yang banyak duitnya.”
La Attu, si “LSNG” yang terkenal dengan kebiasaannya mengunyah camilan sambil berpikir, menimpali, “Biar banyak do’e-na, tapi kalau janjinya hanya hiasan belaka, kita juga yang rugi. Kita perlu yang sudah teruji, bukan cuma yang bisa bikin janji.”
La Tardes, yang tampaknya sedang memikirkan strategi sambil memegang sendok, menambahkan dengan bersemangat, “Bener tuh, La Attu! Tapi soal massa, jangan khawatir. Saya bisa kumpulkan sampai lima ribu orang—tanpa perlu bagi-bagi minuman keras! Haha!”
“Tojenko!!!” teriak La Huddu dengan nada ceria, membuat beberapa pengunjung kedai menoleh heran. “Kalau bohong, nanti pembaca kita yang jadi sasaran karma buruk!”
La Tedong, si “Ormani” yang sering dianggap sebagai ahli pengumpulan massa, mengangkat gelas kopinya dengan gaya dramatis. “Kalau soal massa, saya bisa bawa sepuluh ribu orang. Tapi jangan lupa, utang janji pada anggota juga harus lunas. Tahun lalu kita janjikan Rp200 ribu per kepala, dan sampai sekarang… jangan tanya deh.”
La Huddu memandang La Tedong dengan tatapan waspada. “La Tedong, kita harus hati-hati kali ini. Jangan sampai terjebak dengan janji yang cuma untuk memuaskan perut doang. Kita perlu janji yang bisa dipertanggungjawabkan!”
La Tedong mengangguk, sambil mengaduk kopinya dengan malas. “Betul! Tahun lalu, janji setinggi langit cuma bikin kita ketar-ketir. Kali ini, pastikan calon yang kita pilih benar-benar bisa diandalkan. Jangan sampai kita jadi bahan tertawaan lagi.”
La Huddu, yang sudah mulai gelisah, memutuskan untuk menyusun strategi. “Oke, jadi kita sepakat. Saya yang akan lobi para calon. Saya akan pastikan mereka mengerti apa yang kita inginkan dan menyiapkan segala sesuatunya.”
Tanpa ragu, La Capila, La Tedong, dan La Tardes serentak teriak, “Setuju! Jangan kendor! Bawa perubahan untuk daerah kita! Dan jangan lupa, siapkan budget untuk kopi kita juga!”
La Huddu berdiri dengan semangat, membuat semua orang di kedai terkejut. “Bagus! Mari kita buktikan kalau kita bisa membawa perubahan nyata. Tapi sebelum itu, siapa yang mau nambah kopi? Kita masih punya banyak yang harus dibahas—dan, tentunya, banyak kopi yang harus diminum!”
Ketika mereka terus berbincang dengan penuh semangat, suasana kedai kopi semakin meriah. Gelak tawa, candaan, dan perbincangan hangat menyelimuti meja mereka. Para pengunjung lainnya ikut tersenyum melihat semangat dan kekonyolan kelompok ini, yang tampaknya akan membawa perubahan besar untuk daerah mereka sambil menikmati segelas kopi dan kue kering.
Setelah diskusi yang penuh warna dan penuh semangat, kedai kopi di Jalan Madukelleng menjadi saksi bagaimana lima pemuda dengan julukan unik mereka—La Huddu, La Capila, La Attu, La Tardes, dan La Tedong—berusaha menentukan calon pemimpin yang tepat untuk daerah mereka. Dari perdebatan tentang calon yang memiliki banyak dana hingga utang janji yang belum terselesaikan, semuanya dibahas dengan penuh kekonyolan dan kecerdasan.
Sambil menikmati kopi dan kue kering, mereka menggabungkan strategi politik dengan humor khas mereka. Meskipun ada berbagai tantangan yang harus dihadapi, semangat persahabatan dan tekad untuk membawa perubahan yang lebih baik tetap menjadi pusat perhatian. Dengan keputusan untuk melobi calon-calon dengan tekad bulat, mereka berkomitmen untuk memastikan masa depan daerah mereka berada di tangan yang benar.
Ketika kedai kopi mulai sepi dan matahari mulai terbenam, La Huddu dan teman-temannya meninggalkan meja dengan rasa puas. Mereka tahu bahwa perjalanan mereka belum selesai, namun mereka siap menghadapi tantangan berikutnya dengan semangat yang sama. Mereka mungkin hanya lima orang di sebuah kedai kopi, tapi ide-ide dan rencana mereka bisa saja membawa perubahan besar.
Begitu mereka melangkah keluar dari kedai, suasana hangat dan penuh canda tawa di belakang mereka menjadi pengingat bahwa meski politik dan janji-janji bisa kompleks, persahabatan dan dedikasi mereka akan selalu menjadi kunci. Dengan hati penuh harapan dan secangkir kopi yang tersisa, mereka siap melangkah ke babak berikutnya dalam perjalanan mereka.