19 Usaha Katering Tidak Terdaftar, Pajak Restoran Rp104 Juta Belum Dipungut

Jurnal8.com|Kabupaten Takalar – Temuan mengejutkan dari laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengungkapkan bahwa pajak restoran sebesar Rp104.421.431,55 belum dipungut dari transaksi penyediaan makan minum di beberapa Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD). Sebanyak 19 usaha katering atau rumah makan yang terlibat dalam penyediaan layanan makan dan minum bagi SKPD ternyata tidak terdaftar sebagai Wajib Pajak Restoran, yang seharusnya membayar pajak sebesar 5% dari total transaksi senilai Rp2.088.428.631,00.

Menurut Peraturan Bupati Nomor 36 Tahun 2018, setiap usaha restoran, termasuk usaha kecil yang bersifat insidentil seperti katering acara resmi pemerintah, dikenakan pajak sebesar 5%. Namun, hasil audit BPK menunjukkan bahwa pajak restoran pada transaksi tersebut tidak pernah dipungut, dan usaha-usaha terkait belum terdaftar sebagai Wajib Pajak Restoran.

Dampak Pada Pendapatan Daerah

Kerugian pendapatan daerah dari pajak yang tidak dipungut ini cukup signifikan. Pajak restoran merupakan salah satu sumber pendapatan asli daerah (PAD) yang penting untuk pembangunan infrastruktur dan pelayanan publik. Kehilangan pajak sebesar lebih dari Rp104 juta ini tentunya berdampak pada anggaran daerah yang seharusnya dapat digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Rencana Strategis dan Langkah Tindak Lanjut

Pemerintah daerah kini tengah menyusun rencana strategis untuk meningkatkan kepatuhan pajak, termasuk memperketat sistem pendaftaran Wajib Pajak bagi pelaku usaha kecil yang bersifat insidentil.

Langkah perbaikan yang akan ditempuh meliputi:

Penagihan pajak restoran dari transaksi yang telah teridentifikasi.
Pendaftaran wajib pajak baru bagi usaha yang belum terdaftar sebagai Wajib Pajak Restoran.
Penerapan sanksi bagi usaha yang terbukti menghindari kewajiban pajak.
Penguatan pengawasan di level SKPD agar setiap transaksi yang terkait dengan layanan publik sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Kritik dan Evaluasi BPK

BPK menilai kondisi ini disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain: a. Kepala Disparpora sebagai pengelola pendapatan Pajak Restoran Tahun 2022 tidak mengusulkan target berdasarkan data dan hasil analisis potensi. b. Kepala Bidang Pariwisata Disparpora tidak cermat dalam melaksanakan pendataan Wajib Pajak Restoran di Tahun 2022. c. Kepala Bidang Pariwisata Disparpora belum melaksanakan penetapan, penagihan, dan pemungutan pajak sesuai ketentuan pelaksanaan Pajak Restoran.

Harapan untuk Perbaikan

Pengawasan yang lebih ketat dan transparansi dalam pemungutan pajak diharapkan bisa memperkuat akuntabilitas keuangan daerah dan meningkatkan kontribusi pendapatan dari sektor perpajakan. Pemerintah daerah berharap langkah ini bisa menjadi contoh bagi daerah lain dalam meningkatkan sistem perpajakan dan mencegah terulangnya kesalahan serupa di masa mendatang.

Foto : Farid Mamma SH.,MH

Temuan BPK: Peluang Penertiban Pajak Restoran dan Sanksi Hukum bagi Pelanggar

Menurut Farid Mamma, SH., MH., seorang pakar hukum, temuan ini menjadi peluang besar untuk mengidentifikasi praktik penghindaran pajak yang dilakukan oleh beberapa usaha. Farid menegaskan bahwa menyembunyikan data pajak atau tidak melaporkan kewajiban dengan benar adalah tindakan ilegal yang berpotensi menimbulkan kerugian bagi negara. “Menyembunyikan data pendapatan atau memalsukan informasi dalam laporan pajak adalah bentuk pelanggaran serius,” ujar Farid.

Sanksi Hukum yang Mengancam

Dalam penjelasannya, Farid menyebut bahwa ada dua jenis sanksi yang bisa dikenakan kepada Wajib Pajak yang melanggar aturan, yaitu sanksi administrasi dan sanksi pidana pajak.

Sanksi Administrasi

Sanksi ini berupa pembayaran denda, bunga, atau kenaikan yang dikenakan terhadap wajib pajak yang melanggar kewajiban administrasi perpajakan. Pelanggaran yang berhubungan dengan kewajiban pelaporan dapat dikenakan sanksi denda sesuai ketentuan undang-undang.

Sanksi Pidana Pajak

Wajib pajak yang sengaja menyembunyikan pendapatan, memalsukan dokumen, atau tidak menyetorkan pajak yang sudah dipotong akan dikenakan sanksi pidana. Hukuman ini dapat berupa denda hingga empat kali jumlah pajak yang terutang dan pidana penjara selama maksimal enam tahun.

Penghindaran Pajak yang Merugikan Negara

Dalam konteks ini, Farid mengingatkan pentingnya transparansi dalam pelaporan pajak oleh pelaku usaha. “Menghindari pajak dengan cara tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau tidak mendaftarkan usaha sebagai Wajib Pajak adalah pelanggaran berat yang tidak hanya merugikan negara tetapi juga bisa menyebabkan kerugian jangka panjang bagi pemerintah daerah,” tambahnya.

Temuan BPK menunjukkan bahwa kelemahan dalam pengawasan dan pelaporan pajak restoran di daerah ini perlu segera diperbaiki. Pajak yang tidak disetorkan kepada negara—dalam kasus ini sebesar Rp104,42 juta—menjadi indikasi bahwa masih ada ruang untuk pelaku usaha melakukan praktik penghindaran pajak.

Langkah Penertiban dan Tindakan Lanjutan

Pemerintah daerah kini harus melakukan langkah konkret untuk menertibkan wajib pajak restoran, khususnya yang terlibat dalam penyediaan layanan makan minum bagi SKPD. Langkah ini meliputi pendaftaran usaha yang belum terdaftar sebagai wajib pajak, serta memastikan bahwa seluruh transaksi dikenakan pajak sesuai ketentuan yang berlaku.

Temuan BPK ini diharapkan menjadi titik awal dari perbaikan sistem pajak di daerah, memastikan bahwa setiap pelaku usaha yang terlibat dalam kegiatan ekonomi, khususnya dalam lingkup pemerintahan, mematuhi aturan perpajakan yang berlaku.

Upaya Konfirmasi

Dalam upaya melakukan konfirmasi mengenai temuan ini, tim kami telah mencoba menghubungi Dinas Pariwisata Pemuda dan Olahraga (Disparpora) Kabupaten Takalar. Namun, saat kami tiba di kantor Disparpora, tidak ada pejabat yang dapat memberikan keterangan terkait isu ini. Beberapa staf menyatakan bahwa pejabat yang berwenang sedang tidak berada di tempat dan belum memberikan waktu untuk wawancara atau klarifikasi lebih lanjut (tim)

Leave a Reply