Jurnal8.com| Makassar, – Farid Mamma SH., MH mengungkapkan kegeramannya terhadap pelaku pemerkosaan dan pembunuhan sadis, terutama ketika pelaku tersebut masih di bawah umur. Menurutnya, tidak ada alasan untuk tidak menghukum pelaku hanya karena usia mereka. Jika pelaku terbukti bersalah, mereka harus dihukum sesuai dengan beratnya perbuatan, tidak peduli apakah mereka masih di bawah umur atau tidak.
Kritik Terhadap Pengecualian untuk Pelaku Anak di Bawah Umur
Farid Mamma menegaskan bahwa jika ada satu pelaku yang ditahan, maka seharusnya semua pelaku, terutama jika mereka terlibat bersama-sama dalam kejahatan yang sama, juga harus ditahan. Pengecualian untuk pelaku anak di bawah umur harus dipertanyakan, terutama jika mereka terlibat dalam kejahatan secara berantai. Farid Mamma berpendapat bahwa Undang-Undang Perlindungan Anak harus direvisi atau bahkan dihapuskan karena dinilai sering dimanfaatkan untuk melindungi pelaku yang melakukan kejahatan secara tidak manusiawi.
Penegakan Hukum dan Hukuman
Menurut Farid Mamma, semua pelaku kejahatan serius seperti pemerkosaan dan pembunuhan seharusnya dikenakan pasal berlapis, mengingat perbuatan mereka juga berlapis. Ia menilai bahwa penyidik, dalam hal ini kepolisian, seharusnya menerapkan Pasal 340 subsider Pasal 338 jo 55 dan 56 KUHP dengan ancaman hukuman mati atau seumur hidup, serta Pasal 170 ayat (1) dan (2) KUHP. Ini karena tindakan mereka melibatkan pemerkosaan yang disertai pembunuhan berencana, yang menurut Farid Mamma, perbuatannya jauh melampaui batas kemanusiaan.
Pelanggaran HAM dan Peningkatan Kasus Pemerkosaan
Farid Mamma juga mencatat bahwa pemerkosaan merupakan pelanggaran HAM yang berat dan sistematis, serta bentuk kekerasan berbasis gender terhadap perempuan. Kasus pemerkosaan di Indonesia mengalami peningkatan signifikan selama pandemi, terutama pada tahun 2020 dengan 6.872 kasus, naik 31,32% dari tahun sebelumnya. Meskipun jumlah kasus sedikit menurun menjadi 5.905 pada 2021, pemerkosaan tetap menjadi masalah serius. Provinsi dengan angka tertinggi pada 2021 adalah Sumatera Utara dengan 904 kasus.
Selain jumlah kasus yang tinggi, Farid Mamma menyoroti dampak psikologis yang mendalam pada korban, termasuk stigma sosial yang membuat korban enggan melapor, serta masalah tambahan seperti kehamilan akibat pemerkosaan yang menambah beban psikologis dan sosial korban.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kekerasan Seksual
Faktor-faktor seperti akses mudah ke video porno di media sosial dan paparan teknologi pada anak-anak dapat berkontribusi pada masalah kekerasan seksual. Berikut adalah cara kedua faktor tersebut dapat mempengaruhi:
- Akses ke Video Porno:
- Normalisasi Kekerasan Seksual: Paparan terhadap pornografi, terutama yang memperlihatkan kekerasan atau dominasi seksual, dapat mempengaruhi sikap dan perilaku individu, terutama jika mereka tidak memiliki pendidikan seksual yang memadai. Ini dapat menyebabkan normalisasi perilaku kekerasan atau merendahkan pandangan terhadap consent (persetujuan).
- Gangguan Perspektif: Media yang merendahkan atau memanipulasi pandangan terhadap seksualitas dapat membentuk harapan yang tidak realistis atau tidak sehat tentang hubungan seksual, yang dapat mempengaruhi perilaku.
- Paparan Teknologi pada Anak-Anak:
- Paparan Konten Tidak Pantas: Anak-anak yang memiliki akses bebas ke perangkat seperti smartphone atau tablet dapat dengan mudah mengakses konten yang tidak pantas, termasuk pornografi. Ini dapat mempengaruhi pemahaman mereka tentang seksualitas dan batasan.
- Kurangnya Pengawasan: Kurangnya pengawasan atau pendidikan dari orang tua mengenai penggunaan teknologi dapat meningkatkan risiko anak-anak terpapar konten yang tidak sesuai atau berbahaya.
- Kemampuan Beradaptasi: Anak-anak yang terpapar teknologi sejak dini mungkin mengembangkan kebiasaan perilaku atau kecanduan yang mempengaruhi perkembangan sosial dan emosional mereka. Ini bisa menjadi faktor dalam perilaku seksual yang tidak sehat jika tidak diimbangi dengan pendidikan yang tepat.
Langkah-Langkah Pencegahan:
- Edukasi Seksual:
- Pendidikan yang Komprehensif: Mengajarkan anak-anak dan remaja tentang seksualitas yang sehat, consent, dan batasan dengan cara yang sesuai dengan usia mereka dapat membantu mengurangi pengaruh negatif dari konten yang tidak pantas.
- Diskusi Terbuka: Mendorong komunikasi terbuka antara orang tua dan anak-anak tentang media yang mereka konsumsi dan pengalaman mereka dengan teknologi.
- Pengawasan dan Pembatasan:
- Kontrol Orang Tua: Menggunakan alat kontrol orang tua dan pembatasan untuk mengawasi akses anak-anak ke konten online dapat membantu mengurangi risiko paparan terhadap konten yang tidak pantas.
- Pemantauan Penggunaan Teknologi: Mengawasi dan membatasi waktu layar serta memastikan penggunaan teknologi dilakukan dengan cara yang sehat dan produktif.
- Reformasi dan Penegakan Hukum:
- Regulasi Konten Online: Menegakkan regulasi dan kebijakan yang membatasi akses ke konten pornografi dan memastikan bahwa platform media sosial mematuhi standar perlindungan anak.
- Penegakan Hukum: Memastikan bahwa ada mekanisme hukum yang efektif untuk menangani kasus penyebaran konten tidak pantas dan melindungi anak-anak dari paparan yang berbahaya.
Secara keseluruhan, masalah kekerasan seksual dan pemerkosaan melibatkan berbagai faktor yang saling terkait. Pendidikan yang baik, pengawasan orang tua, dan penegakan hukum yang efektif adalah langkah penting untuk mengatasi dan mencegah kekerasan seksual di masyarakat.
Polisi Hanya Tahan Satu Pelaku dalam Kasus Pemerkosaan dan Pembunuhan Siswi SMP di Palembang: Alasan dan Kontroversi
Kasus pembunuhan dan pemerkosaan yang menimpa siswi SMP berinisial AA (13) di Palembang telah mengundang perhatian luas publik dan media. Jasad AA ditemukan di Kuburan China, dan sejak itu, polisi telah menangkap empat pelaku yang semuanya masih di bawah umur. Namun, kontroversi muncul ketika hanya satu pelaku yang ditahan sementara tiga pelaku lainnya hanya dikenai rehabilitasi. Kita akan membahas alasan di balik keputusan tersebut serta dampaknya terhadap keadilan dan perlindungan anak di Indonesia.
Kasus dan Penangkapan Pelaku
Keempat pelaku, yang memiliki inisial IS, NSA, MZF, dan ASA, ditangkap dalam kurun waktu dua hari setelah penemuan jasad AA. IS, yang juga merupakan pacar korban, berusia 16 tahun, sementara ketiga pelaku lainnya berusia 12 hingga 13 tahun.
Alasan Penahanan dan Rehabilitasi
Kapolrestabes Palembang Kombes Harryo Sugihhartono menjelaskan bahwa keputusan untuk menahan hanya IS dan memberikan rehabilitasi kepada ketiga pelaku lainnya didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Menurut undang-undang perlindungan anak, pelaku yang berusia di bawah 14 tahun tidak dapat dikenakan hukuman penjara dan lebih banyak difokuskan pada rehabilitasi. Kombes Harryo menjelaskan, “Jadi kejadian tersebut sesuai kategori usia yang ada di antara empat tersebut IS (16) yang kita tahan karena usianya sudah 16 tahun, ketiga lainnya hanya 12 tahun dan 13 tahun sebagaimana Undang-undang.”
Dikatakannya, rehabilitasi tersebut atas dasar permintaan dari keluarga tersangka dengan alasan keamanan karena masih di bawah umur. “Untuk menghindari hal yang tidak diinginkan karena anak di bawah umur dan sesuai koordinasi dengan Bapas guna perlindungan terhadap anak walaupun anak tersebut tersangka yang notabene di bawah umur,”tutupnya.
Atas perbuatannya, keempat tersangka akan dijerat dengan pasal-pasal terkait perlindungan anak dan pembunuhan berencana, yang membawa ancaman hukuman 15 tahun penjara atau denda maksimal Rp3 miliar.
Kontroversi dan Kritik
Keputusan ini menuai berbagai reaksi dari masyarakat dan pengamat hukum. Beberapa pihak menganggap bahwa rehabilitasi tidak memadai untuk kasus kejahatan berat seperti pemerkosaan dan pembunuhan, terutama yang melibatkan korban yang sangat muda. Ada kekhawatiran bahwa keputusan ini mungkin tidak memberikan efek jera yang cukup kepada pelaku dan tidak memadai untuk memenuhi rasa keadilan bagi keluarga korban.
Perlindungan Anak dan Keadilan
Dalam konteks hukum Indonesia, perlindungan anak seringkali menjadi prioritas utama, namun hal ini sering bertentangan dengan tuntutan keadilan bagi korban dan keluarga mereka. Kritikus berpendapat bahwa meskipun undang-undang bertujuan untuk rehabilitasi pelaku anak-anak, kasus seperti ini memerlukan penanganan yang lebih komprehensif dan adil.
Langkah Selanjutnya
Kasus ini mungkin akan menjadi bahan diskusi dalam reformasi hukum anak dan keadilan pidana. Sementara itu, masyarakat dan keluarga korban terus menunggu hasil akhir dari penyelidikan dan proses hukum yang dianggap sesuai untuk memastikan keadilan ditegakkan secara menyeluruh.
(TIM)