Berita Terbaru jurnal8.com | Dunia Politik Hingga Hiburan‎

Kakek Piyono Masuk Penjara Gegara Ikan Aligator: Kontroversi dan Reaksi Masyarakat

Jurnal8.com| Kota Malang, – Kakek Piyono, seorang pria lansia berusia 61 tahun asal Kota Malang, Jawa Timur, harus menjalani hukuman enam bulan penjara setelah ketahuan memelihara lima ikan aligator gar. Vonis tersebut dijatuhkan oleh Pengadilan Negeri Malang Kelas IA pada Senin (9/9/2024).

Kasus ini menghebohkan karena Piyono merasa tidak pernah mendapatkan sosialisasi atau peringatan sebelumnya mengenai larangan memelihara ikan aligator gar. Kakek yang telah memelihara ikan-ikan tersebut selama 16 tahun ini mengaku terkejut dan merasa diperlakukan seperti penjahat besar.

“Saya ini orang bodoh, tidak tahu apa-apa, sudah berusaha berbuat baik, hanya memelihara ikan itu tetapi dipenjara,” ungkap Piyono dengan tangisan pecah. Ia merasa tindakan memelihara ikan yang tidak merugikan siapapun seharusnya tidak berakhir dengan hukuman penjara.

Menurut anak Piyono, Aji Nuryanto, keluarganya tidak mengetahui adanya aturan yang melarang pemeliharaan ikan aligator gar. Ia menjelaskan bahwa ikan-ikan tersebut dibeli pada tahun 2006 di Pasang Burung Splindid Kota Malang dengan harga Rp10.000 per ikan. Saat itu, ikan yang dibeli berjumlah delapan ekor dengan ukuran kecil. Namun, seiring waktu, hanya tersisa lima ekor.

“Memeliharanya sejak 2006, jadi dipelihara sekira 16 tahun. Sedangkan aturan atau undang-undangnya itu baru ada pada 2020,” kata Aji.

Vonis hukuman penjara ini menimbulkan berbagai reaksi di masyarakat, terutama terkait dengan penerapan aturan yang dianggap belum disosialisasikan dengan baik kepada publik.

Analisis Pandangan Jaksa Penuntut Umum Su’udi Terhadap Kasus Piyono

1. Keadilan dan Keringanan Putusan

Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri Kota Malang, Su’udi, menilai bahwa putusan Majelis Hakim dalam kasus Piyono sudah memenuhi rasa keadilan dan dinilai relatif ringan. Menurut Su’udi, putusan enam bulan penjara adalah keputusan yang adil mengingat pelanggaran yang dilakukan oleh terdakwa. Hal ini mencerminkan bahwa meskipun Piyono memelihara ikan aligator gar tanpa izin, hukuman yang dijatuhkan tidak melebihi batas wajar jika dibandingkan dengan tuntutan awal yang meminta delapan bulan penjara atau denda.

2. Pengetahuan Hukum Masyarakat

Su’udi menjelaskan bahwa hukum dianggap berlaku secara umum dan masyarakat diharapkan mengetahui serta mematuhi aturan yang ada. Dalam hal ini, Piyono dianggap melanggar hukum karena memelihara spesies ikan yang dilarang tanpa adanya sosialisasi dari pemerintah kepada individu tersebut. Ini menunjukkan bahwa hukum mengedepankan prinsip kepatuhan, meskipun terdakwa mungkin tidak menyadari adanya aturan yang berlaku.

3. Opsi Restorative Justice dan Alasan Tidak Digunakan

Dalam konteks ini, Su’udi menegaskan bahwa opsi restorative justice tidak diterapkan karena kasus ini adalah limpahan dari Polda Jatim dan tidak melibatkan korban langsung atau perdamaian di antara pihak-pihak terkait. Opsi restorative justice biasanya diterapkan dalam kasus yang melibatkan sengketa atau konflik antar individu dengan kemungkinan rekonsiliasi. Karena pelanggaran ini bersifat formil dan administratif, restorative justice tidak dianggap relevan.

4. Pertimbangan dalam Penjatuhan Hukuman

Su’udi juga menyampaikan bahwa Majelis Hakim mempertimbangkan faktor-faktor yang meringankan hukuman terhadap Piyono. Pertimbangan ini termasuk usia tua Piyono, kondisi kesehatan yang buruk, serta tanggung jawab sosial yang dimilikinya. Hal ini menunjukkan bahwa sistem peradilan mempertimbangkan aspek kemanusiaan dan kondisi pribadi terdakwa dalam proses penjatuhan hukuman.

5. Penyesuaian Masa Hukuman dengan Masa Tahanan

Vonis enam bulan penjara yang dijatuhkan sudah termasuk dengan masa tahanan yang telah dijalani sejak awal Agustus 2024. Dengan demikian, sisa waktu hukuman yang perlu dijalani oleh Piyono hanya beberapa bulan lagi, yang menandakan bahwa proses hukuman ini akan segera berakhir.

Pandangan Jaksa Penuntut Umum Su’udi menunjukkan bahwa proses hukum terhadap Piyono dianggap telah sesuai dengan aturan yang ada dan telah memperhatikan berbagai aspek dalam penjatuhan hukuman. Meskipun Piyono mungkin merasa keputusan ini tidak adil, terutama karena kurangnya sosialisasi tentang aturan yang berlaku, sistem peradilan berupaya menegakkan hukum dengan memperhitungkan semua pertimbangan yang relevan dalam proses hukuman.

Foto : Farid Mamma SH., MH

Pandangan Farid Mamma SH., MH tentang Kasus Kakek Piyono: Isu Keadilan dan Penegakan Hukum

Farid Mamma SH.,MH, seorang pakar hukum, mengkritik keras keputusan ini. Menurutnya, kasus ini menyoroti masalah mendalam tentang penegakan hukum yang adil. “Mengapa harus dijatuhkan hukuman penjara, sementara tidak ada kerugian yang jelas bagi masyarakat atau negara? Kasus ini mencerminkan ketidakmampuan sistem hukum kita untuk menangani situasi dengan kebijakan yang lebih bijaksana,” tegas Farid kepada awak media ini. Kamis 12/9/2024

1. Ketidaktahuan Hukum dan Penegakan Hukum

Farid Mamma SH., MH, menilai bahwa kasus Kakek Piyono, yang terjerat hukuman penjara karena memelihara ikan aligator gar, menyoroti isu mendalam tentang penegakan hukum yang adil. Kakek Piyono telah memelihara ikan tersebut sejak 2006, sementara aturan yang melarang pemeliharaan ikan aligator gar baru diundangkan pada tahun 2020. Ketidakpahaman Kakek Piyono tentang aturan baru ini menunjukkan adanya ketidakseimbangan dalam penerapan hukum.

2. Prinsip Keadilan untuk Masyarakat Kecil

Menurut Farid Mamma, sebagai masyarakat awam, Kakek Piyono tidak mungkin mengetahui aturan yang baru diberlakukan tersebut. Dalam konteks ini, hukum harus mempertimbangkan ketidaktahuan masyarakat kecil. Sebagai alternatif, pemerintah seharusnya melakukan penarikan ikan tersebut daripada menjatuhkan hukuman penjara kepada individu yang tidak memiliki niat buruk.

3. Diskriminasi dan Keseimbangan Hukum

Farid Mamma menyoroti ketidakseimbangan dalam penegakan hukum dalam kasus ini. Ia berpendapat bahwa tindakan hukum yang diambil terhadap Kakek Piyono, meskipun memelihara ikan yang dilarang, tidak proporsional mengingat latar belakang dan ketidaktahuannya. Pemerintah seharusnya memberikan penghargaan atas kepatuhan hukum sebelumnya dan mempertimbangkan konteks sosial dan ekonomi dari terdakwa.

4. Kepentingan dan Kerugian dalam Kasus Ini

Farid Mamma juga menekankan bahwa dalam kasus ini, tidak ada kerugian yang jelas bagi masyarakat luas. Kakek Piyono tidak menjual atau melepaskan ikan ke lingkungan yang dapat membahayakan ekosistem, sehingga pertanyaannya adalah, siapa sebenarnya yang dirugikan? Ini menandakan adanya ketidakadilan dalam penegakan hukum terhadap individu yang tidak menyadari pelanggaran yang dia lakukan.

5. Kebutuhan akan Perubahan dalam Penegakan Hukum

Farid Mamma menyarankan perlunya perubahan dalam penegakan hukum untuk menghindari kesalahan serupa di masa depan. Sistem hukum perlu memberikan bimbingan dan sosialisasi kepada masyarakat tentang aturan-aturan baru sebelum menjatuhkan hukuman yang berat. Penegak hukum dan pemerintah harus lebih sensitif terhadap kondisi sosial dan pengetahuan hukum dari masyarakat yang kurang terinformasi.

Kasus Kakek Piyono bukan hanya soal memelihara ikan aligator gar, tetapi mencerminkan sebuah fenomena yang lebih besar tentang bagaimana hukum diterapkan dan sosialisasi hukum kepada masyarakat. Akankah kasus ini memicu perubahan dalam cara hukum dijalankan di Indonesia? Hanya waktu yang akan menjawab. Namun, satu hal yang pasti: Kakek Piyono telah menjadi simbol dari tantangan yang dihadapi dalam penegakan hukum dan keadilan di tanah air, serta momen penting dalam diskusi tentang reformasi hukum di Indonesia. (@RED)