Jurnal8.com| Makassar, 14 September 2024 – ST Arwati mengadakan jumpa pers di Makassar untuk menanggapi pemberitaan negatif yang menimpa dirinya. Arwati mengklaim bahwa informasi pribadi berupa pesan suara yang disebarluaskan tanpa izin di grup WhatsApp Hijab dan media online terkait Hijab telah mencemarkan nama baiknya.
ST Arwati mengungkapkan bahwa pesan suaranya, yang awalnya dikirim secara pribadi, dibagikan oleh seorang anggota Hijab, Subaidah, ke grup Hijab tanpa persetujuannya.
“Awalnya saya sabar, tapi setelah pemberitaan yang terus-menerus muncul dan memprovokasi teman-teman di Hijab, saya merasa tindakan ini tidak hanya melanggar privasi tetapi juga berpotensi merusak reputasi saya,” ujar Arwati.
Klaim Pemberitaan Tidak Etis dan Tanpa Konfirmasi Arwati menilai pemberitaan yang mengkritiknya tidak dilakukan dengan konfirmasi yang memadai.
Ia menyatakan bahwa pemberitaan yang berulang-ulang dan hampir serupa di berbagai platform menunjukkan indikasi copy-paste tanpa verifikasi yang benar.
Aspek Hukum dan Etika Menurut Farid Mamma SH., MH, pengacara Arwati, penyebaran pesan suara tanpa izin dapat melibatkan sejumlah masalah hukum dan etika:
Privasi dan Etika: Menyebarluaskan pesan pribadi tanpa izin melanggar hak privasi. Di Indonesia, UU ITE mengatur sanksi untuk penyebaran informasi pribadi tanpa persetujuan. Secara etika, tindakan ini merusak hubungan dan kepercayaan.
Potensi Ujaran Kebencian: Jika pesan mengandung ujaran kebencian, penyebarannya bisa dilaporkan ke polisi berdasarkan Pasal 28 ayat (2) UU ITE. Penyebaran yang mengandung unsur ujaran kebencian berpotensi membawa masalah hukum baik bagi penyebar maupun pemilik pesan.
Tindak Lanjut Hukum: Pihak yang menyebarkan pesan bisa dikenai tuntutan hukum atas pelanggaran privasi, sementara pemilik pesan dapat menghadapi tuduhan jika konten pesan dianggap melanggar hukum.
Langkah Penyelesaian Arwati dan kuasa hukumnya menyerukan untuk mengingatkan agar publik lebih berhati-hati dalam menyebarkan informasi pribadi.
Jika diperlukan, dalam waktu dekat ini langkah hukum bisa diambil untuk mengatasi pelanggaran privasi atau fitnah yang terjadi.
Berikut penjelasan Farid Mamma SH.,MH terkait penyebaran pesan suara di WhatsApp dan penggunaan pesan tersebut sebagai dasar laporan ujaran kebencian berdasarkan hukum yang berlaku di Indonesia, khususnya yang diatur dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan aturan terkait lainnya.
1. Penyebaran Pesan Suara Tanpa Izin
UU ITE Pasal 26 Ayat 1: Mengatur mengenai perlindungan data pribadi. Menyebarkan informasi pribadi seseorang tanpa persetujuannya, termasuk pesan suara, melanggar hak privasi.
Pasal 27 Ayat 1 UU ITE: Mengatur soal larangan distribusi atau transmisi informasi elektronik yang melanggar norma kesusilaan. Jika pesan suara tersebut bersifat pribadi atau tidak untuk konsumsi publik, penyebarannya tanpa izin bisa dianggap melanggar hak privasi pemilik pesan.
Pasal 32 UU ITE: Penggunaan pesan suara yang bersifat pribadi untuk kepentingan yang tidak diizinkan, seperti menyebarkannya di grup, juga bisa dianggap sebagai pelanggaran manipulasi data atau informasi pribadi.
Sanksi hukum: Berdasarkan UU ITE, pelanggaran hak privasi dapat dikenakan hukuman pidana dengan ancaman penjara hingga 6 tahun atau denda maksimal Rp 600 juta (Pasal 45 UU ITE).
2. Ujaran Kebencian dalam Pesan Suara
Pasal 28 Ayat 2 UU ITE: Mengatur bahwa setiap orang dilarang menyebarkan informasi yang mengandung ujaran kebencian atau permusuhan berdasarkan SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antar-golongan).
Jika pesan suara yang disebarkan mengandung ujaran kebencian terhadap kelompok tertentu berdasarkan SARA, tindakan tersebut bisa dipidanakan sebagai ujaran kebencian.
Ujaran kebencian juga bisa dilaporkan jika pesan suara berisi penghinaan, pelecehan, atau bentuk diskriminasi yang dapat memecah belah kerukunan di masyarakat.
Sanksi hukum: Pelanggaran ini dapat dikenai pidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda maksimal Rp 1 miliar (Pasal 45A UU ITE).
3. Penggunaan Pesan Suara sebagai Bukti Hukum
Pembuktian dalam Kasus Ujaran Kebencian: Pesan suara yang digunakan sebagai bukti ujaran kebencian harus melalui proses verifikasi. Pihak kepolisian akan memeriksa konten pesan dan menentukan apakah benar ada unsur pidana dalam pesan tersebut.
Pasal 184 KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana): Menyebutkan bahwa alat bukti yang sah meliputi keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Pesan suara bisa masuk dalam kategori petunjuk atau surat yang bisa digunakan sebagai bukti selama relevan dengan tuduhan yang diajukan.
4. Konsekuensi Bagi Penyebar Pesan
Jika Anda menyebarkan pesan suara tanpa izin, meskipun tidak bermaksud jahat, Anda tetap dapat dikenai tindakan hukum karena melanggar hak privasi. Berdasarkan UU ITE, tindakan ini bisa dilaporkan sebagai pelanggaran, terutama jika menimbulkan kerugian bagi orang lain.
Penyebar pesan dapat diadukan berdasarkan Pasal 27 ayat (3) tentang pencemaran nama baik jika isi pesan yang disebarkan mengakibatkan kerugian pada reputasi orang lain.
Kesimpulan
Penyebaran pesan suara tanpa izin melanggar UU ITE, terutama terkait privasi, dan bisa dikenakan sanksi pidana.
Pesan suara yang mengandung ujaran kebencian dapat diproses secara hukum jika mengandung unsur SARA dan dianggap menghasut permusuhan atau kebencian terhadap kelompok tertentu.
Laporan ujaran kebencian perlu dibuktikan berdasarkan konten pesan, dan penyebar maupun pemilik pesan bisa dikenakan hukuman berdasarkan pelanggaran yang terjadi.
Pembuktian dalam Kasus Ujaran Kebencian: Pesan suara yang digunakan sebagai bukti ujaran kebencian harus melalui proses verifikasi. Pihak kepolisian akan memeriksa konten pesan dan menentukan apakah benar ada unsur pidana dalam pesan tersebut.
Leave a Reply