Jurnal8.com| Makassar – Rumah sakit, tempat di mana seharusnya setiap orang mendapatkan perlindungan dan perawatan, kini beralih menjadi arena teror bagi seorang perempuan muda yang tengah berjuang mempertahankan harga dirinya. Dugaan kekerasan seksual yang dilakukan oleh Acs, seorang atasan di rumah sakit spesialis ternama di Makassar, kini mengguncang publik. Korban, IN, perempuan berusia 28 tahun yang sudah lima tahun mengabdi di institusi itu, kini harus menghadapi trauma yang membekas akibat perbuatan bejat atasannya.
Pelaku Kekerasan Seksual Bertopeng Atasan: Korban Terjebak di Lingkaran Kekerasan
Kisah ini dimulai pada Mei 2024, ketika IN untuk pertama kalinya mengalami pelecehan seksual oleh Acs, yang tanpa malu melancarkan aksinya di tempat kerja. Namun, kejadian ini tak hanya terjadi sekali. Kekerasan itu berulang hingga September 2024, setiap kali dengan ancaman yang kian menakutkan. “Dia mengancam akan memecat saya, mencekik saya, kalau saya tidak menuruti kemauannya,” ungkap korban dalam tangis ketika menceritakan pengalaman kelamnya.
Bagaimana mungkin seorang perempuan yang setiap hari bersentuhan dengan upaya menyelamatkan nyawa kini harus berjuang mempertahankan dirinya dari kekerasan yang seolah tak berujung? Rasa takut yang berkepanjangan dan trauma mental yang semakin memburuk membuat IN akhirnya memilih untuk melapor ke Polrestabes Makassar pada 20 September 2024. Langkah ini adalah puncak dari keberanian yang tak mudah, di tengah tekanan yang ia rasakan setiap hari di tempat kerjanya.
Lingkungan Kerja yang Membungkam: Dimana Perlindungan untuk Korban?
Namun, lebih menyedihkan lagi, kekerasan yang dialami IN ternyata luput dari perhatian pihak rumah sakit. Meski IN bekerja di bawah pengawasan langsung atasannya, laporan yang dibuatnya tak kunjung memunculkan respons berarti hingga korban mengambil langkah sendiri untuk melaporkan kejadian tersebut ke pihak kepolisian. Ibu Intan, anggota keluarga korban, dengan lantang menyatakan bahwa keadilan harus ditegakkan. “Anak kami sudah cukup lama menahan beban ini. Kondisi mentalnya sudah semakin hancur. Kami hanya ingin pelaku dihukum seberat-beratnya,” ujar Ibu Intan penuh harap.
Bertahun-tahun, IN bekerja dengan dedikasi tinggi di rumah sakit tersebut, namun dalam sekejap, lingkungan yang harusnya mendukung kesejahteraan mental dan fisiknya berubah menjadi mimpi buruk.
Rumah Sakit Pecat Pelaku, Tapi Apa Selanjutnya?
Muharyanto, SH., MH., C.L.A., perwakilan RS Mata JEC Orbita, mencoba memberikan pernyataan. “Kami telah memutuskan untuk memecat Acs pada 23 September 2024,” ujarnya singkat kepada media. Namun, masyarakat mempertanyakan: apakah ini cukup? Pemecatan, meski penting, bukan solusi menyeluruh. Korban kini dibiarkan menghadapi trauma tanpa ada bantuan nyata dari pihak rumah sakit yang menjanjikan pendampingan psikologis—namun belum terealisasi hingga berita ini terbit.
Pendampingan psikologis bukan sekadar formalitas, tetapi hak korban yang harus segera diwujudkan. Rumah sakit yang selama ini dikenal sebagai tempat merawat pasien, kini juga harus mempertanggungjawabkan perannya dalam memberikan dukungan bagi salah satu stafnya yang menjadi korban.
Jerat Hukum Menunggu Pelaku: Ancaman Berat di Depan Mata
Farid Mamma, SH., MH., seorang pakar hukum yang menyoroti kasus ini, menegaskan bahwa pelaku kekerasan seksual tak bisa dibiarkan lolos begitu saja. Berdasarkan pasal-pasal dalam KUHP dan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), Acs terancam hukuman berat. “Dengan Pasal 289 KUHP, pelaku bisa dihukum penjara maksimal sembilan tahun atas tindak pidana kekerasan seksual,” jelas Farid. Sanksi ini bahkan bisa diperberat dengan Undang-Undang TPKS yang mengatur bahwa kekerasan seksual di tempat kerja dapat dihukum hingga 12 tahun penjara dan denda Rp300 juta.
Tetapi bukan hanya pelaku individu yang harus menghadapi konsekuensi hukum. RS Spesialis pun tak luput dari tanggung jawab jika terbukti lalai melindungi korban. “Institusi yang gagal melindungi pekerja dari kekerasan seksual di tempat kerja juga dapat dikenakan sanksi administrasi,” tambah Farid.
Suara Lantang dari Pemerhati Perempuan: Kekerasan Seksual di Tempat Kerja Harus Diakhiri
Fatmawati Abdullah, SH., Sekretaris Mata Publik , memberikan pernyataan keras bahwa kasus seperti ini harus menjadi pelajaran bagi setiap institusi.
“Tempat kerja seharusnya menjadi ruang yang aman bagi setiap individu. Tindakan kekerasan seksual adalah pelanggaran berat yang tidak boleh dianggap remeh. Jika kasus ini tidak ditangani dengan serius, akan semakin banyak korban yang terbungkam,” ungkap Fatmawati dengan tegas.
Apa yang Selanjutnya untuk Korban?
Saat ini, proses hukum sedang berjalan. Polrestabes Makassar telah menerima laporan dari korban, dan diharapkan penyelidikan lebih lanjut segera membawa pelaku ke meja hijau.
Namun bagi IN, perjalanan panjang untuk memulihkan diri baru dimulai. Trauma psikologis yang mendalam tidak mudah diatasi, terlebih lagi jika ia tidak mendapatkan dukungan maksimal dari lingkungan tempat ia bekerja.
Masyarakat terus menunggu, menuntut agar keadilan ditegakkan dengan cara yang benar dan tegas. Apakah kasus ini akan menjadi titik balik bagi perlindungan pekerja perempuan di lingkungan kerja? Ataukah ia hanya menjadi satu dari sekian banyak kisah korban kekerasan yang suaranya tidak pernah cukup didengar?
(@tim)