Berita Terbaru jurnal8.com | Dunia Politik Hingga Hiburan‎

Keadilan di Ujung Tanduk: Kasus Irnawanty di Pengadilan Makassar

Jurnal8.com|Makassar, 25 September 2024 — Dalam persidangan yang menggugah emosi dan menyentuh hati, Irnawanty, seorang ibu yang berjuang untuk masa depan anak-anaknya, mendesak majelis hakim di Pengadilan Negeri Makassar untuk mempertimbangkan keputusannya dengan bijaksana.

Sidang ini dipimpin oleh Hakim Ketua Arif Wisaksono dan dua hakim anggota, Tomotius Djemey serta Abdul Rahman Karim, menyisakan kesan mendalam tentang pentingnya integritas dalam proses hukum.

Irnawanty dengan penuh harap meminta kepada hakim, “Kepada yang mulia, izinkan saya untuk merasakan keadilan. Tolong, jangan biarkan keputusan ini menghancurkan impian dan harapan kami.” Suaranya bergetar, mencerminkan rasa sakit dan ketidakpastian yang dihadapinya sebagai seorang ibu yang berjuang untuk mendapatkan keadilan bagi anak-anaknya.

Alfiansyah yang merupakan pengacara Irnawanty mengkritik sikap jaksa dan hakim dalam persidangan, “Jaksa tidak mampu melihat fakta-fakta yang ada, dan hakim memutuskan seakan-akan dengan mata tertutup, seolah-olah kami sebagai pengacara tidak dianggap ada untuk membela keadilan bagi Irnawanty.”jelasnya

Keputusan yang dipercepat, lanjut Alfiansyah, semata-mata demi mengejar batas masa tahanan tanpa mempertimbangkan pembelaan secara penuh, dapat merusak kepercayaan masyarakat terhadap sistem peradilan.

“Jika putusan diambil terlalu cepat tanpa pertimbangan matang, maka kepercayaan terhadap kepastian hukum bisa terganggu. Masyarakat bisa meragukan apakah hukum benar-benar memberikan keadilan, atau hanya menjadi alat administratif,” tambahnya.

Foto: Irnawanty didampingi kuasa hukum Farid Mamma SH., MH

Pentingnya Proses Hukum yang Adil

Kasus Irnawanty menggambarkan tantangan yang sering dihadapi individu dalam sistem peradilan. Farid Mamma, SH., M.H., kuasa hukum Irnawanty, dengan tegas mengungkapkan, “Kami tidak akan berhenti berjuang untuk keadilan. Ini bukan hanya tentang Irnawanty, tetapi juga tentang semua orang yang terjebak dalam ketidakadilan. Kami percaya pada sistem hukum, tetapi kami melihat penyimpangan yang sangat mencolok dalam proses ini.”

Pernyataan Farid menyoroti betapa pentingnya prinsip due process yang dijamin dalam Pasal 28D UUD 1945, yang menekankan hak setiap individu untuk mendapatkan pengakuan, jaminan, dan perlindungan hukum yang adil. “Keputusan yang dipercepat, tanpa memberikan ruang bagi pembelaan yang layak, dapat merusak kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum,” tambah Farid.

Salah satu dasar hukum yang juga harus diperhatikan dalam kasus ini adalah Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang mengatur hak-hak terdakwa selama proses peradilan. Pasal 1 angka 22 KUHAP menyatakan bahwa hak-hak terdakwa meliputi hak untuk didampingi penasihat hukum, hak untuk mengajukan pembelaan, dan hak untuk mengajukan bukti yang mendukung pembelaannya.

Mendorong Reformasi Peradilan

Kasus ini diharapkan bisa mendorong reformasi dalam sistem peradilan di Indonesia, agar keadilan dapat dirasakan oleh semua lapisan masyarakat tanpa diskriminasi. Masyarakat harus bersatu dalam memperjuangkan hak asasi manusia dan menuntut transparansi dalam proses hukum.

Sanksi untuk Hakim yang Terburu-buru
Farid Mamma menjelaskan bahwa jika hakim mengambil keputusan yang tergesa-gesa, terdapat beberapa sanksi yang dapat dikenakan, di antaranya:

Sanksi dari Komisi Yudisial (KY):

Pemeriksaan Etik: KY berwenang untuk memeriksa hakim yang diduga melanggar kode etik. Jika terbukti, mereka dapat memberikan rekomendasi sanksi.

Teguran Tertulis atau Lisan: Untuk pelanggaran ringan, hakim bisa mendapatkan teguran.

Penundaan Kenaikan Pangkat: Untuk pelanggaran lebih serius, KY dapat merekomendasikan penundaan kenaikan pangkat.

Sanksi dari Mahkamah Agung (MA):

Penonaktifan Sementara: MA dapat menonaktifkan hakim jika ada dugaan pelanggaran serius.
Pemindahan Jabatan: Hakim dapat dipindahkan ke jabatan yang lebih rendah sebagai bentuk sanksi.

Sanksi Hukum atau Pidana:

Pemecatan: Dalam kasus pelanggaran berat, hakim dapat dipecat oleh MA atas rekomendasi KY.

Tuntutan Pidana: Jika ada indikasi pelanggaran hukum, hakim bisa dituntut secara pidana.

Sanksi Moral dan Reputasi:

Penurunan Reputasi: Hakim yang melanggar kode etik dapat kehilangan reputasi dan kepercayaan publik.

Peninjauan Kembali Putusan:

Pengajuan Banding: Terdakwa bisa mengajukan banding jika menemukan kesalahan serius dalam putusan.

Kewajiban Mengikuti Pelatihan:

Pelatihan Ulang: Hakim mungkin diwajibkan mengikuti pelatihan untuk meningkatkan kompetensi.

Dampak bagi Sistem Peradilan Keputusan yang terburu-buru tidak hanya berdampak pada individu terdakwa, tetapi juga merusak kepercayaan masyarakat terhadap sistem .

Terkait sanksi terhadap hakim yang melanggar kode etik, prosedur peradilan, atau membuat keputusan yang tidak adil, terdapat beberapa peraturan dan regulasi di Indonesia yang mengatur hal ini. Berikut adalah beberapa regulasi yang relevan:

1. Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

Pasal 1 (Butir 8): Hakim harus memegang teguh Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.

Pasal 24: Hakim wajib memutus perkara sesuai dengan hukum dan rasa keadilan. Apabila hakim membuat putusan yang tidak mempertimbangkan secara penuh hak terdakwa (misalnya, dalam kasus pleidoi), hakim dapat dianggap melanggar ketentuan ini.

Pasal 32: Jika terdapat pelanggaran hukum dalam putusan yang diambil, putusan tersebut dapat diajukan untuk ditinjau oleh pengadilan yang lebih tinggi.

2. Undang-Undang No. 49 Tahun 2009 tentang Peradilan Umum

Pasal 22: Menyebutkan bahwa hakim bertanggung jawab dalam menjalankan tugas peradilan dengan adil, tidak memihak, dan harus menjunjung tinggi asas-asas keadilan. Pelanggaran terhadap hal ini dapat memicu sanksi administratif atau disiplin.

3. Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (telah diubah dengan UU No. 3 Tahun 2009)

Pasal 11-13: Hakim yang melanggar hukum atau kode etik dapat diajukan ke Mahkamah Agung untuk dilakukan pemeriksaan. Jika terbukti bersalah, Mahkamah Agung dapat memberikan sanksi, termasuk pemberhentian sementara atau tetap.

4. Undang-Undang No. 18 Tahun 2011 tentang Komisi Yudisial (KY)

Pasal 13: KY memiliki kewenangan untuk melakukan pengawasan terhadap perilaku hakim, termasuk untuk memeriksa dugaan pelanggaran kode etik oleh hakim.

Pasal 20: Komisi Yudisial dapat memberikan rekomendasi sanksi kepada Mahkamah Agung jika hakim terbukti melakukan pelanggaran etika atau perilaku yang melanggar hukum. Sanksi bisa berupa teguran, penundaan kenaikan pangkat, atau pemberhentian.

5. Peraturan Bersama Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial No. 02/PB/MA/IX/2012 dan No. 02/PB/P.KY/09/2012 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim

Kode Etik Hakim: Kode etik ini mengatur tentang perilaku profesional dan etika hakim dalam menjalankan tugas. Hakim yang melanggar kode etik, misalnya dengan mempercepat putusan tanpa memperhatikan hak-hak terdakwa secara penuh, bisa dikenakan sanksi berdasarkan pelanggaran kode etik.

Sanksi: Berdasarkan pelanggaran, KY atau Mahkamah Agung dapat merekomendasikan sanksi mulai dari teguran, penundaan kenaikan pangkat, hingga pemecatan jika pelanggaran dianggap berat.

6. Peraturan Mahkamah Agung No. 9 Tahun 2016 tentang Pedoman Penanganan Pengaduan (Whistleblowing System) di Mahkamah Agung dan Badan Peradilan yang Berada di Bawahnya

Peraturan ini mengatur prosedur pengaduan terkait perilaku hakim yang diduga melakukan pelanggaran. Masyarakat, pihak yang berperkara, atau institusi terkait bisa mengadukan perilaku hakim yang dianggap melanggar hukum atau kode etik.

7. Undang-Undang No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN)

Meskipun hakim tidak sepenuhnya berada di bawah undang-undang ini, dalam beberapa kasus tertentu, aturan disiplin ASN bisa menjadi acuan untuk memberikan sanksi kepada hakim yang terbukti melakukan pelanggaran administrasi atau disiplin dalam menjalankan tugas.

8. Peraturan Mahkamah Agung No. 8 Tahun 2016 tentang Pengawasan dan Pembinaan Atasan Langsung di Lingkungan Mahkamah Agung dan Badan Peradilan di Bawahnya

Peraturan ini menegaskan bahwa atasan langsung hakim memiliki kewenangan untuk mengawasi perilaku dan keputusan yang diambil oleh hakim di bawahnya. Jika ada indikasi pelanggaran kode etik atau pelanggaran prosedur peradilan, atasan langsung berwenang melakukan pembinaan atau penegakan disiplin..

Keadilan untuk Semua
Penting untuk diingat bahwa setiap keputusan hakim memiliki konsekuensi yang luas.

Masyarakat memiliki hak untuk menuntut keadilan yang setara dan tidak memihak. Dengan pengawasan yang ketat dan sanksi yang tegas, diharapkan sistem peradilan Indonesia dapat memperbaiki dirinya dan kembali menjadi harapan bagi semua lapisan masyarakat.

Hakim harus diingatkan bahwa mereka adalah pelindung keadilan, bukan hanya penegak hukum, sehingga setiap keputusan harus mencerminkan integritas dan kebenaran. @(tim)

Perkara Irwanyanti :

Sumber :https://sipp.pn-makassar.go.id/index.php/detil_perkara
Sumber :https://sipp.pn-makassar.go.id/index.php/detil_perkara