“Fasum Jadi Lahan Bisnis: Pelanggaran Hukum dan Implikasinya Bagi Masyarakat”

Jurnal8.com| Di sepanjang Jalan Andi Paggaru, Sengkang, situasi para pedagang kaki lima (PKL) semakin sulit. Beberapa pedagang yang biasanya menjajakan dagangan seperti gorengan, martabak, hingga nasi kuning, kini mengeluhkan sewa lapak yang kian mencekik.

Pemilik Toko Azka, yang dikenal sebagai penarik iuran, terus menaikkan harga sewa secara sepihak, meski lahan yang digunakan diduga merupakan milik pemerintah.

Seorang PKL yang enggan disebut namanya mengisahkan, dua tahun lalu, dia mulai membayar sewa sebesar Rp300 ribu per bulan.

Namun, dalam waktu singkat, sewa itu naik hingga Rp1 juta per bulan, tanpa adanya penjelasan yang jelas. “Dulu saya hanya bayar Rp500 ribu. Tiba-tiba naik Rp700 ribu, lalu kini mencapai Rp1 juta per bulan,” katanya.

Mirisnya, penjual nasi kuning yang hanya berdagang di pagi hari pun dibebani biaya yang sama, meski ia tidak menggunakan listrik untuk penerangan.

Bukti transfer yang diperlihatkan oleh pedagang tersebut memperlihatkan bahwa iuran itu diminta untuk ditransfer ke rekening pribadi pemilik toko, bukan ke kas daerah atau instansi resmi.

Beberapa pedagang bahkan mengaku telah diusir jika tak mampu membayar iuran tersebut. “Saya sudah tanya ke pemilik toko, kalau saya pindah, apa bisa saya kembali? Dia bilang, ‘Tidak mungkin saya izinkan lagi, sudah ada orang lain yang siap mengambil tempatmu,’” ungkap seorang pedagang dengan nada kecewa.

Screenshot transfer pembayaran

Sementara itu, pemilik Toko Azka, Muh. Rizal, berdalih bahwa lapak PKL tersebut adalah miliknya, dan sewa yang dikenakan merupakan haknya. “Itu lokasi dibeli oleh orang tua saya. Pedagang yang ada di sana saya kenakan sewa Rp1 juta per bulan, baik yang jual pagi maupun sore,” katanya saat diwawancarai melalui telepon oleh awak media

Namun, klarifikasi datang dari Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Wajo, yang menyatakan bahwa lahan yang ditempati para PKL tersebut adalah bahu jalan milik pemerintah, bukan milik pribadi.

“Kami telah mengecek denahnya, dan sepanjang Jalan Andi Paggaru, bahu jalan adalah milik pemerintah,” jelas Andi Bau Said Gumanti, Kepala Bidang Tata Ruang Pertanahan Dinas PUPR Wajo.

Kondisi ini menambah beban para PKL yang setiap hari harus berjuang demi mencari nafkah. Mereka terpaksa bertahan, meski harus menghadapi kenaikan sewa yang tak masuk akal dan ancaman pengusiran.

Hingga kini, para pedagang berharap adanya keadilan dan intervensi dari pemerintah setempat untuk menghentikan pungutan liar yang membebani hidup mereka.

Nasib PKL di Sengkang ini menjadi cermin betapa lemahnya perlindungan terhadap hak-hak pedagang kecil, yang seringkali terhimpit oleh kepentingan ekonomi dan kekuasaan.

Mereka terus berharap ada perubahan, sebelum harga hidup yang harus dibayar menjadi terlalu mahal bagi mereka yang hanya mencari sesuap nasi.

Ketika fasilitas umum (fasum) seperti bahu jalan, trotoar, taman, atau area publik lainnya dipersewakan oleh pihak-pihak tertentu yang sebenarnya tidak memiliki hak, hal ini menimbulkan sejumlah persoalan yang merugikan masyarakat serta melanggar hukum.

Berikut beberapa ulasan terkait fenomena ini:

Pelanggaran Hukum dan Regulasi

Fasilitas umum yang dikelola oleh pemerintah diperuntukkan bagi kepentingan masyarakat luas, bukan untuk dimiliki atau dipersewakan oleh individu atau kelompok.

Dalam banyak kasus, memanfaatkan fasum untuk tujuan komersial tanpa izin pemerintah dapat melanggar hukum. Pemerintah daerah biasanya memiliki peraturan yang mengatur pemanfaatan ruang publik, dan penggunaan fasum untuk bisnis pribadi tanpa izin resmi adalah bentuk pelanggaran.

Kesenjangan Sosial

Fasum seperti bahu jalan atau trotoar sejatinya merupakan ruang yang harusnya dapat diakses semua orang secara gratis. Ketika ada individu atau kelompok yang mengambil alih dan memperjualbelikan akses tersebut, hal ini menciptakan ketidakadilan.

Para pedagang kecil, yang sering kali menggunakan tempat tersebut karena keterbatasan biaya untuk menyewa tempat yang layak, menjadi korban.

Mereka harus membayar sewa yang tinggi hanya untuk berdagang di tempat yang seharusnya bebas biaya.

Gangguan Ketertiban dan Keamanan

Penyewaan fasum sering kali menyebabkan gangguan terhadap ketertiban umum. Misalnya, pedagang yang berjualan di bahu jalan atau trotoar sering menyebabkan kemacetan, mengurangi akses pejalan kaki, serta meningkatkan risiko kecelakaan.

Ketika hal ini dibiarkan, kawasan publik menjadi tidak nyaman dan tidak aman bagi pengguna jalan atau pejalan kaki lainnya.

Dampak Ekonomi pada PKL

Pedagang kaki lima (PKL) yang menggunakan fasum sering kali berada dalam kondisi ekonomi yang sulit. Mereka memilih berjualan di area publik karena biaya sewa ruko atau kios yang terlalu tinggi.

Namun, ketika mereka dipaksa membayar sewa lapak kepada pihak yang tidak berwenang, beban ekonomi mereka semakin berat.

Hal ini memaksa mereka menaikkan harga jual, yang pada akhirnya dapat memengaruhi daya beli konsumen.

Kurangnya Pengawasan dan Penegakan Hukum

Fenomena persewaan fasum juga sering terjadi karena kurangnya pengawasan dari pihak berwenang.

Penegakan hukum yang lemah memungkinkan pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab untuk terus melanggar aturan tanpa mendapatkan sanksi yang berarti.

Tanpa adanya tindakan tegas dari aparat, praktik seperti ini akan terus berlangsung dan semakin mengakar di masyarakat.

Solusi: Peran Aktif Pemerintah dan Masyarakat

Untuk mengatasi permasalahan ini, diperlukan kerja sama antara pemerintah dan masyarakat. Pemerintah harus aktif mengawasi penggunaan fasilitas umum dan menindak tegas pelanggaran.

Selain itu, pemerintah bisa menyediakan lokasi khusus bagi PKL yang terjangkau, sehingga mereka tidak perlu bergantung pada fasum untuk berjualan.

Masyarakat juga harus berperan aktif dalam melaporkan praktik-praktik ilegal seperti ini. Dengan adanya kesadaran kolektif, diharapkan penggunaan fasum bisa kembali pada tujuan semula, yaitu untuk kepentingan publik, bukan keuntungan pribadi.

Persewaan fasilitas umum oleh pihak yang tidak berwenang adalah bentuk penyalahgunaan ruang publik yang merugikan masyarakat luas, terutama bagi kelompok yang rentan seperti pedagang kecil.

Hal ini memerlukan perhatian serius dari pihak berwenang untuk segera menegakkan aturan, menjaga ketertiban, dan mengembalikan fungsi fasilitas umum sebagaimana mestinya.

(@icky) 

 

Leave a Reply