Terbukti Tidak Bersalah, Yayasan Wakaf UMI Belum Kembalikan Jabatan Prof Sufirman

Jurnal8.com| MAKASSAR — Kepolisian Daerah (Polda) Sulawesi Selatan telah menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) pada 4 Oktober 2024 dalam kasus dugaan penggelapan dana yayasan yang menjerat Prof Sufirman Rahman. SP3 ini membatalkan status tersangka dan memulihkan nama baiknya.

Berdasarkan surat ketetapan S.TAP/116.A/X/RES.1.11/2024 dari Direskrimum, disebutkan bahwa pencabutan status tersangka dilakukan karena tidak cukup bukti, atau peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana. Hal ini membebaskan Sufirman dari segala tuduhan terkait penggelapan dana.

Namun, meskipun telah terbukti tidak bersalah, Yayasan Wakaf UMI belum juga mencabut keputusan pemberhentian sementara Prof Sufirman dari jabatannya sebagai Rektor Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar. Sebelumnya, Sufirman dinonaktifkan setelah ia bersama mantan Rektor UMI, Prof Basri Modding, ditetapkan sebagai tersangka.

Pada 30 September 2024, Yayasan Wakaf UMI mengangkat Prof Dr Hambali Thalib sebagai pelaksana tugas (Plt) Rektor UMI, dengan tujuan menjaga kelangsungan aktivitas akademik. Keputusan ini tertuang dalam Surat Keputusan (SK) Yayasan Wakaf UMI yang dibacakan oleh Sekretaris Pengurus Yayasan, Abd Halim, di Menara UMI Makassar.

Namun, dua pekan setelah diterbitkannya SP3 yang membatalkan status tersangka Sufirman, Yayasan Wakaf UMI belum juga mengembalikan posisinya sebagai rektor definitif. Hal ini menimbulkan pertanyaan dari sejumlah dosen dan civitas akademika UMI, yang menginginkan Yayasan untuk segera mengambil langkah yang tegas.

Suara Civitas Akademika

“Logikanya, kan, Sufirman dinonaktifkan karena menjadi tersangka. Sekarang setelah SP3 keluar dan tuduhan itu tidak terbukti, posisinya sebagai rektor harusnya dikembalikan,” kata salah satu dosen UMI yang enggan disebutkan namanya.

Ia juga menekankan pentingnya marwah almamater dan keberlanjutan kegiatan akademik. “Sebagai universitas swasta terbesar di Indonesia timur, Yayasan Wakaf harus mengembalikan Sufirman sebagai rektor definitif untuk menjaga stabilitas kampus. Kasihan UMI, kasihan mahasiswa. Kampus besar tapi tanpa rektor definitif.”

Perspektif Hukum: Pemulihan Jabatan Pasca SP3

Dalam konteks hukum, SP3 tidak hanya membatalkan status tersangka, tetapi juga memulihkan hak-hak seseorang, termasuk hak untuk memegang jabatan publik atau akademik. Salah satu Alumni Fakultas Hukum Firman Gani SH., mantan Presiden BEM Fakultas Hukum UMI menjelaskan bahwa penerbitan SP3 seharusnya menjadi dasar kuat untuk pemulihan jabatan.

“Pada prinsipnya, jika seseorang diberhentikan atau dinonaktifkan dari jabatannya karena status tersangka dan status tersebut kemudian dicabut oleh otoritas hukum melalui SP3, maka secara hukum hak-haknya, termasuk jabatan yang sebelumnya dipegang, harus dipulihkan,” jelas Firman

Menurutnya, dalam kasus Prof Sufirman, Yayasan Wakaf UMI harus segera merespons dengan mempertimbangkan dasar hukum ini. Jika tidak, ada potensi gugatan hukum dari pihak yang merasa dirugikan, karena SP3 merupakan keputusan final dalam menghentikan penyelidikan dan menghapus status tersangka.

Namun, Firman Gani juga menekankan bahwa keputusan pengembalian jabatan tergantung pada peraturan internal institusi yang bersangkutan. “Yayasan mungkin memiliki aturan administratif tertentu yang perlu dipenuhi, tetapi mereka juga harus bertindak cepat untuk menghindari ketidakpastian yang berlarut-larut,” tambahnya.

Tantangan Yayasan Wakaf UMI

Hingga saat ini, belum ada pernyataan resmi dari Yayasan Wakaf UMI terkait alasan mereka belum mengembalikan jabatan Prof Sufirman. Banyak pihak menduga bahwa Yayasan sedang mempertimbangkan situasi internal atau mungkin sedang menunggu rapat dewan pengurus sebelum mengambil keputusan.

Sikap lambat Yayasan ini tidak hanya menuai kritik dari dosen, tetapi juga memicu kekhawatiran akan terjadinya ketidakpastian dalam kepemimpinan kampus, yang dapat memengaruhi kualitas akademik UMI dalam jangka panjang. (@icky)

Leave a Reply