JURNAL8.COM|Cara pandang serta cara kerja seorang spiritualis, kata guru spiritual saya yang tidak ingin disebutkan namanya, katanya bermula dari hati baru kemudian diteruskan ke otak (pikiran) untuk kemudian dikembalikan lagi hingga bermuara di dalam hati. Tetapi bisa juga, eksekusi langsung dilakukan saat tanggapan atau respon spontan terhadap segala sesuatu berada di hati. Karena banyak hal yang dapat atau bahkan harus segera dilakukan tanpa harus melalui proses olahan otak. Karena semua keputusan yang dilakukan para spiritualis sejati itu selalu berpusat di hati.
Sebagai contoh reaksi spontan saat harus mengambil keputusan dan segera bertindak guna menolong orang dalam suatu ancaman bahaya atau mereka yang sedang mengalami musibah kecelakaan, dapat dipahami oleh hati bahwa semua itu harus dilakukan tanpa perlu harus mendapat persetujuan dari otak atau akal. Sifat umum seperti ini dilakukan semata-nata atas dasar fitrah manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna di bumi. Lantaran kadar ilahiah bawaan asal nilai kemanusiaannya masih cukup dominan bersemayam di dalam kalbu orang yang bersangkutan.
Dalam ungkapan yang lebih ekstrim, istilah yang dipakai Irjen Pol. Dharma Pongrekun ketika dialog informal di Cafe di kawasan Lebak Bulus, awal Juni 2023, itulah salah satu pelaku spiritual yang itu selalu berpikir dengan hati. Karena para spiritualis selalu menggunakan otak hanya dalam kondisi tertentu saja. Karena selebihnya akan lebih dominan diputuskan oleh pertimbangan hati. Itulah sebabnya kaum spiritualis selalu disebut berpikir pakai hati. Karena itu cukup banyak apa mereka lakukan sering dilihat tidak masuk akal. Aneh ! Alias tidak rasional. Karena memang keputusan awal dan akhir bagi para spiritualis itu adanya di hati. Adapun keberadaan otak (daya pikir) mereka hanya digunakan untuk hal-hal tertentu saja, sehingga peran otak tidak akan lebih dominan dibanding keputusan yang dilakukan oleh hati.
Dalam istilah Wowok Pranowo, asisten ahli Wali Spiritual Sri Eko Sriyanto Galgendu, istilah yang dia makna sebagai manajemen spiritual, jika ditilik dar perspektif usaha. Karena manajemen spiritual itu pun dilakukan atas dasar sentuhan hati, bukan sentuhan otak. Maka itu, dalam banyak hal usaha mereka yang menggunakan manajemen spiritual ini sulit memang sulit diterima maupun untuk dipahami oleh masyarakat umum. Yang sering terjadi adalah anggapan praktek klenik dan perdukunan semata. Padahal, apa mereka lakukan dengan apa yang dimaksud dari model manajemen spiritual itu adalah keputusan serta segala pertimbangan yang lebih mengedepankan bisikan hati, feeling, naluri, insting seperti keyakinan yang sulit untuk dijelaskan secara ilmiah.
Agaknya, pemahaman tentang sosok pelaku spiritual seperti ini hanya dapat dimengerti oleh mereka yang telah mencapai tingkatan tertentu dalam pengenalan dan pemahaman Ikhwal dari laku spiritual sebagai suatu bidang keilmuan yang masih cukup asing dan tidak banyak dipahami oleh banyak orang. Padahal, mutu dan potensi spiritual suku bangsa Nusantara yang kini melebur menjadi Indonesia Raya sangat besar dan dahsyat. Setidaknya, beragam potensi yang dimiliki secara dominan oleh bangsa Timur ini sangat mungkin dapat dijadikan nilai lebih dari bangsa-bangsa lain di dunia. Dan atas dasar itu pula, keyakinan terhadap gerakan kebangkitan dan pemahaman spiritual sangat mungkin dimulai dan dimotori oleh bangsa-bangsa Timur. Maka itu, gerakan kebangkitan spiritual tampak dalam grafik terus bergerak dari Timur ke Barat, sehingga pada puncaknya peradaban manusia baru di bumi segera terbentuk. Tak lagi mabuk pada hal-hal yang bersifat duniawi. Setidak akan mulai ada imbangan antara keperluan duniawi dengan kepentingan surgawi di langit.
Atas dasar itu, GMRI (Gerakan Moral Rekonsiliasi Indonesia) yang efektif dimulai sejak tahun 2019 — untuk memasuki siklus perubahan tujuh abad babak keempat sekarang ini — makin deras dan meluas kiprahnya menjadi keyakinan banyak orang bahwa siklus perubahan setiap tujuh abad sedang berlangsung dan kelak akan ditandai oleh perubahan besar dalam peradaban baru manusia di bumi.
Adapun gerak dari perubahan besar peradaban manusia dalam siklus tujuh abad keempat sekarang ini (abad 21) sudah dimulai oleh bangsa Timur yang memang terpilih sebagai pelopor dan motor penggeraknya yang akan meliputi seluruh jagat raya yang ditandai dengan kebangkitan kesadaran dan pemahaman spiritual sebagai keperluan untuk menjawab beragam macam tantangan masa depan yang makin kompleks dan rumit.
Keunggulan dunia yang mengedepankan pemikiran (akal) manusia yang cenderung melabrak nilai-nilai kemanusiaan hingga sifat dan sikap ilahiyah, jelas sesat karena telah terbukti membuat banyak kerusakan di muka bumi. Dan kerusakan dalam bentuk fisik — dalam bentuk siklus alam semesta ini — telah mencapai puncak keresahan manusia di belahan bumi mana pun. Sumber alam dan hasil alam telah dieksploitasi habis-habisan demi memenuhi nafsu angkara tiada perduli bagi mereka yang lain. Dan teknologi yang oleh keunggulan daya pikir dan dari cipta manusia semakin pongah memposisikan manusia sebagai Khalifah Tuhan di muka bumi yang terabaikan, hanya demi dan untuk kepuasan dan ambisi pribadi. Bahkan manusia cenderung diamputasi nilai-nilai kemanusiaannya hingga dianggap sah dan abdol dijadikan robot pemuas nafsu bagi manusia yang lain — yang sedang berada pada puncak kekuasaan — entah atas dasar otoritas apapun.
Karena itu, sikap pongah dalan cara berpikir memakai otak kini mulai bergeser pada hati. Otak harus mampu dipimpin dan diawasi oleh hati. Jika tidak, nafsu, ambisi, keserakahan, iri dan dengki hingga rasa sirik dalam pengertian umum — seperti yang ada di dalam otak manusia akan semakin pongah dan sombong hingga membuat disharmoni seperti nafsu angkara dalam semangat dan birahi berlomba membuat senjata pemusnah mutakhir untuk berkuasa di muka bumi. Sementara keyakinan terhadap kehidupan pada bilik lain — akhirat — seperti yang dijanjikan Tuhan semakin terabaikan. Maka itu, jalan pilihan terbaik adalah menelusuri jalan spiritual yang indah dan teduh bagi seluruh umat beragama apapun yang mengusung ajaran kebaikan dan kebajikan, bagi semua makhluk di muka bumi. Dalam perspektif salah satu agama langit, agaknya itulah yang dimaksud rahmatan lil alamin itu
Begitulah maknanya nasehat para leluhur bangsa Timur, bahwa berpikir itu adalah pelita hati. Sebab cara berpikir dengan hati itu itu lebih utama, dan daya pikir itu cuma diperlukan bersitan cahayanya semata sekedar untuk menerangi mata hati.
Jacob Ereste :
Banten, 13 Juni 2023
Leave a Reply