Jurnal8.com| Polemik mengenai advokat yang merangkap jabatan kembali mencuat seiring dengan kasus yang melibatkan kuasa hukum Himpunan Jurnalis Bantaeng (HIJAB).
Dalam perdebatan terkait status hukum di internal organisasi tersebut, timbul pertanyaan mengenai legalitas kuasa hukum dan potensi rangkap jabatan.
Hal ini menimbulkan diskusi lebih lanjut tentang aturan ketat yang melarang advokat untuk menjalankan lebih dari satu peran yang dapat mengganggu profesionalisme dan independensi mereka.
Menurut Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, jelas disebutkan dalam Pasal 20 bahwa seorang advokat dilarang merangkap jabatan jika jabatan tersebut bertentangan dengan kepentingan tugas dan martabat profesinya.
Larangan ini bukan tanpa alasan, melainkan untuk memastikan bahwa advokat tetap fokus pada tugas utamanya sebagai pembela hukum yang independen dan tidak terjebak dalam konflik kepentingan.
Kebebasan dan Kemerdekaan Profesi
Pasal 20 UU Advokat secara tegas menyatakan bahwa advokat dilarang mengambil jabatan lain yang merugikan profesinya. Artinya, jika seorang advokat terlibat dalam jabatan yang menuntut pengabdian yang signifikan di luar tugas advokat, maka profesionalismenya dalam menangani kasus hukum bisa terganggu. Ini bertujuan agar advokat dapat menjaga integritas dan tidak terjebak dalam situasi yang bisa mengurangi kebebasan dalam menjalankan tugas pembelaan terhadap klien.
Menghindari Konflik Kepentingan
Salah satu alasan kuat di balik larangan ini adalah untuk menghindari potensi konflik kepentingan. Dalam situasi di mana advokat memegang jabatan lain yang memiliki pengaruh terhadap suatu kasus atau posisi, hal tersebut bisa mengurangi objektivitas dan merusak kredibilitas. Misalnya, seorang advokat yang juga menjabat sebagai pejabat publik atau terlibat dalam organisasi yang berkaitan langsung dengan kliennya, berpotensi menimbulkan keraguan terhadap profesionalismenya.
Ancaman Sanksi untuk Pelanggar
Jika advokat melanggar larangan rangkap jabatan, konsekuensinya bisa sangat serius. Sanksi administratif hingga pencabutan izin praktik bisa dijatuhkan oleh Dewan Kehormatan Advokat atau organisasi profesi advokat yang menaungi mereka.
Hal ini merupakan bentuk upaya untuk menjaga martabat dan standar etika profesi advokat, serta memberikan keadilan kepada klien yang mereka wakili.
Kasus di Tubuh HIJAB: Siapa yang Sah sebagai Kuasa Hukum?
Dalam polemik yang terjadi di tubuh Himpunan Jurnalis Bantaeng (HIJAB), peran advokat Agus Patra, SH sebagai kuasa hukum HIJAB dipertanyakan oleh kubu yang berseberangan. Kuasa hukum ARW, Farid Mamma, SH., MH, mempertanyakan legalitas Agus Patra sebagai kuasa hukum, mengingat belum ada pergantian kepengurusan di HIJAB yang sah. Farid menuding adanya upaya pribadi untuk mengambil alih kepemimpinan dalam organisasi dengan melibatkan kuasa hukum yang tidak sah.
Kasus ini membuka kembali perbincangan mengenai pentingnya advokat tetap berpegang pada aturan yang melarang rangkap jabatan, serta menjaga independensi dan integritas dalam menjalankan profesi. Tanpa adanya konflik kepentingan, advokat diharapkan dapat menjalankan tugasnya dengan adil dan obyektif, demi tercapainya keadilan yang sesungguhnya.
Dengan adanya ketentuan dalam UU Advokat, setiap advokat diharapkan mampu menjaga fokus dan komitmen mereka dalam menjalankan tugas hukum, tanpa terganggu oleh jabatan-jabatan lain yang bisa menimbulkan pertentangan kepentingan. Sebab, dalam dunia hukum yang penuh dengan dinamika dan ketegangan, integritas adalah hal yang tak bisa ditawar. (@tim)
Leave a Reply