“Buntut Penggelapan Rp 4,3 Miliar di UMI: Keadilan atau Ketidakadilan?”

Jurnal8.com| Makassar, Sulawesi Selatan – Kontroversi mengemuka dalam kasus penggelapan dana senilai Rp 4,3 miliar di Universitas Muslim Indonesia (UMI) setelah pihak kepolisian menetapkan Rektor UMI, Prof. Sufirman Rahman, sebagai tersangka utama. Dalam satu berkas perkara, tiga orang lainnya juga ditetapkan sebagai tersangka.

Namun, perkembangan terbaru menunjukkan bahwa Prof. Sufirman di-SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan), meskipun sebelumnya telah ditetapkan sebagai tersangka.

Pengamat Hukum Farid Mamma SH., MH, menyoroti keganjilan dalam proses hukum ini. “Jika tidak ada cukup bukti untuk mendukung  tersangka terhadap Prof. Sufirman, mengapa dia ditetapkan sebagai tersangka di awal? Ini menciptakan pertanyaan besar mengenai integritas penyidikan yang dilakukan oleh pihak kepolisian,” ujarnya.

Farid Mamma juga mempertanyakan keadilan dalam penegakan hukum. “Jika semua terlibat dalam satu kesatuan perbuatan, mengapa hanya satu pihak yang di-SP3? Ini jelas menunjukkan adanya inkonsistensi dalam proses hukum,” tegas Direktur PUKAT Sulsel.

Ia menantang Kapolda Sulsel yang baru untuk melakukan gelar perkara terbuka agar masyarakat dapat memahami secara jelas jalan cerita dari kasus ini.

Ketidakpastian yang muncul menimbulkan keraguan di kalangan masyarakat mengenai keadilan dan transparansi dalam proses hukum.

“Penyidik harus bertanggung jawab untuk menjelaskan mengapa ada perbedaan perlakuan antara Prof. Sufirman dan tersangka lainnya,” jelas Farid.

“Seharusnya semua pihak yang terlibat dalam dugaan penggelapan ini mendapatkan perlakuan hukum yang sama, tanpa pilih kasih. Ini adalah masalah keadilan,” imbuhnya.

Kasus ini menjadi sorotan masyarakat, menuntut penegakan hukum yang konsisten dan adil bagi semua tersangka.

Publik berharap agar proses hukum dapat berjalan transparan dan tidak ada intervensi yang mempengaruhi keputusan penyidikan.

Berikut adalah penjelasan lebih rinci mengenai kasus penggelapan dan penerapan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) berdasarkan regulasi yang berlaku di Indonesia:

1. Penggelapan (Pasal 372 KUHP)

Penggelapan diatur dalam Pasal 372 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang menyatakan bahwa:

“Barang siapa dengan sengaja memiliki barang yang bukan miliknya secara melawan hukum, dengan tujuan untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, diancam pidana.”

Dugaan penggelapan dalam kasus ini, melibatkan dana sebesar Rp 4,3 miliar, dianggap memenuhi unsur pasal ini apabila:

Barang atau dana yang dikuasai adalah milik orang lain (dalam hal ini, institusi UMI).

Adanya niat untuk memiliki barang atau dana tersebut secara melawan hukum.

Tujuan penguasaan adalah untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain.

2. Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3)

SP3 diatur dalam Pasal 109 ayat (2) KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana), yang memberikan kewenangan kepada penyidik untuk menghentikan penyidikan suatu perkara apabila ditemukan alasan tertentu, seperti:

  • Tidak cukup bukti.
  • Perbuatan yang disangkakan bukan merupakan tindak pidana.
  • Adanya penghentian demi hukum, seperti tersangka meninggal dunia atau terdapat kedaluwarsa dalam penuntutan.

Jika Rektor UMI, Prof. Sufirman Rahman, mendapatkan SP3, maka ini bisa berarti penyidik menilai bahwa dalam kasusnya terdapat salah satu dari tiga alasan di atas.

Namun, jika tersangka lain tetap diproses, ini menimbulkan pertanyaan mengapa kasus yang sama diperlakukan berbeda terhadap pihak-pihak lain.

3. Restorative Justice

Restorative justice diatur dalam Peraturan Kapolri No. 8 Tahun 2021 tentang penanganan perkara tindak pidana berdasarkan keadilan restoratif. Prinsip ini memungkinkan penyelesaian perkara di luar pengadilan melalui mediasi, asalkan kedua belah pihak setuju, dan kerugian dapat dipulihkan.

Namun, restorative justice umumnya digunakan untuk tindak pidana ringan dan melibatkan kesepakatan dari semua pihak yang dirugikan.

Dalam kasus penggelapan, penerapan restorative justice bisa dipertanyakan jika tidak dilakukan secara adil terhadap semua tersangka, seperti yang dipersoalkan oleh kuasa hukum dan masyarakat.

4. Dugaan Kriminalisasi

Kriminalisasi biasanya merujuk pada penyalahgunaan wewenang oleh aparat hukum untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka tanpa dasar hukum yang jelas.

Jika dugaan kriminalisasi diangkat dalam kasus ini, maka pihak yang merasa dirugikan bisa mengajukan praperadilan untuk menguji keabsahan penetapan tersangka atau penghentian penyidikan.

Praperadilan diatur dalam Pasal 77-83 KUHAP, di mana tersangka atau pihak yang merasa dirugikan oleh tindakan penyidik atau penuntut umum dapat mengajukan keberatan ke pengadilan.

5. Gelar Perkara Khusus

Permintaan untuk menggelar perkara secara terbuka merupakan langkah yang diatur dalam Peraturan Kapolri No. 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana, yang mewajibkan adanya gelar perkara untuk memutuskan apakah suatu kasus layak dilanjutkan atau dihentikan.

Gelar perkara dilakukan untuk menilai apakah bukti-bukti yang ada cukup untuk menindaklanjuti kasus ke tahap penuntutan.

Jika dugaan penggelapan memenuhi unsur Pasal 372 KUHP, maka tindakan penyidik yang melanjutkan penyidikan terhadap sebagian tersangka dianggap sah.

Namun, pemberian SP3 kepada salah satu tersangka perlu diperjelas, apakah didasarkan pada alasan hukum yang kuat (tidak cukup bukti, bukan tindak pidana, atau demi hukum).

Proses restorative justice harus dilakukan secara adil kepada semua pihak. Jika salah satu tersangka mendapatkan SP3 melalui restorative justice sementara tersangka lain tidak, maka ini menimbulkan kecurigaan adanya diskriminasi atau tebang pilih.

Pihak yang merasa dirugikan dapat menempuh jalur hukum, seperti praperadilan, untuk menantang keputusan yang dianggap tidak sah secara hukum.

(@tim)

Leave a Reply