Jurnal8.com| Guru Besar Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB), Prof.Dr. Bambang Hero Saharjo, M.Agr mengungkapkan sejarah ‘kelam’ dan panjang Kebakaran Hutan dan Lahan (Karhutla) di Indonesia. Kejadian Karhutla tahun 2015 katanya, menjadi akumulasi bencana dari ketidakseriusan penanganan Karhutla di masa pemerintah sebelumnya.
”Karhutla yang paling diingat terjadi tahun 1997/1998, dimana saat itu luas yang terbakar mencapai 10-11 juta ha, dengan dampak yang sangat buruk,” kata Bambang pada media, Sabtu (25/8/2018).
Ketika itu bencana asap melumpuhkan banyak aktivitas masyarakat. Puluhan juta rakyat Indonesia, termasuk negara-negara ASEAN, mengalami dampak kebakaran yang begitu dahsyat.
”Penanganan kebakaran yang itu-itu saja membuat kebakaran terus berulah di hampir setiap tahun setelahnya,” kata Bambang.
Karhutla yang cukup besar kembali terjadi di masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Tahun 2006 kata Bambang, Presiden SBY menggaungkan kampanye ‘perang terhadap bencana asap’, dengan melibatkan seluruh stake holders di Sumatera Selatan. Saat itu perintah Presiden, Karhutla harus diatasi mulai tingkat tapak.
”Namun kebakaran besar tetap saja terjadi tahun 2013, sehingga untuk kesekian kalinya, Presiden RI harus minta maaf kepada negara tetangga karena asap lintas batas akibat karhutla di negara kita,” ungkap pakar kebakaran hutan dan lahan ini.
Pemerintah benar-benar dibuat seolah tak berdaya. Tahun 2014, Karhutla kembali terjadi dengan tidak kalah hebatnya seperti kejadian tahun-tahun sebelumnya.
Negara Singapura tampaknya sudah di ambang batas kesabaran karena selalu ikut merasakan dampak bencana asap. Pada tahun yang sama, Singapura akhirnya mengeluarkan ‘Transboundary act’.
”Pemerintah Singapura melegalkan penangkapan atas para bos korporasi, meskipun itu bukan warga negara mereka, yang diduga berada di balik bencana asap yang menyelimuti negara mereka dan membuat penderitaan warganya,” kata Bambang.
Keluarnya UU tersebut merupakan ‘tamparan keras dan sangat memalukan’ untuk Indonesia karena dinilai gagal menegakkan hukum Karhutla dengan tegas yang menyebabkan bencana asap selalu saja berulang, bahkan hampir selama 20 tahun.
”Lahirnya Undang-Undang ini juga diduga akibat penanganan kebakaran (di Indonesia) yang tidak sistematis dan menggigit,” ungkap Bambang.
Sekitar bulan Februari 2015, salah satu instansi terkait yang berurusan dengan prediksi iklim dan cuaca Jepang, merelease tentang trend menguatnya fenomena El Nino pada tahun 2015. Saat itu pemerintahan baru saja berganti, dari Presiden SBY ke Presiden Joko Widodo, dengan Siti Nurbaya sebagai Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK).
Saat baru menjabat kata Bambang, Siti Nurbaya sebenarnya sudah langsung turun ke daerah-daerah dengan tingkat kerawanan tinggi untuk mengingatkan dan menyiapkan berbagai kemungkinan terburuk.
”Sayangnya, harus diakui bahwa saat itu tidak semua intansi terkait mempercayai prediksi El Nino tersebut, meski Menteri sendiri sebenarnya sudah turun langsung,” ungkap Bambang.
Barulah pada bulan Juni 2015, pergerakan kebakaran seperti tidak tertahan sehingga terus berlanjut yang mengakibatkan Karhutla hebat.
”Karena belum sampai satu tahun menjabat, tentu penanganan pengendalian Karhutla yang dilakukan pemerintahan Presiden Jokowi saat itu berdasarkan cara-cara dan kebijakan yang ada sebelumnya,” kata Bambang.
Cara-cara dan kebijakan ‘warisan pendahulunya’ ternyata sama sekali gagal mengatasi meluasnya titik api di tahun 2015. Sekitar 2,6 juta ha hutan dan lahan diketahui terbakar tanpa terkendalikan di awal masa pemerintahan Jokowi.
”Atas apa yang telah dilakukan oleh Presiden tersebut itulah yang membuat Walhi Kalteng menggugat. Jadi landasan kejadiannya adalah Karhutla tahun 2015, meski sebenarnya bencana seperti itu sudah lama terjadi,” kata Bambang.
Sebenarnya bersamaan dengan masuknya gugatan tersebut, Pemerintahan Presiden Jokowi melalui Kementerian LHK kata Bambang, sudah langsung melakukan penegakan hukum dengan sasaran korporasi atau perusahaan yang dinilai lalai menjaga lahan mereka sehingga terbakar di tahun 2015. Menyasar perusahaan besar dalam kasus Karhutla merupakan hal yang tidak seberani dilakukan pemerintah sebelumnya.
”Langkah berani dan tegas dikeluarkan oleh MenLHK saat itu dengan mengeluarkan PermenLHK 77 tahun 2015 tentang pengambilan areal bekas kebakaran di dalam konsesi, setelah sebelumnya juga mengeluarkan SE 495/2015 yang meminta korporasi menghentikan semua kegiatan pemanfaatan gambut dan kanal yang mengakibatkan gambut mengering,” ungkap Bambang.
Langkah ini katanya cukup berani diambil Presiden Joko Widodo di awal masa jabatannya sebagai Presiden, karena memang sebagian besar Karhutla terjadi di lahan gambut dan berada di dalam wilayah konsensi. Pihak perusahaan dinilai tidak memiliki kesiapan SDM yang memadai, melakukan pembiaran, bahkan kesengajaan, dan selama ini selalu bisa ‘mengelak’ dari hukum saat terjadi Karhutla.
”Fakta ini menunjukkan bahwa dalam waktu yang singkat Presiden Jokowi telah berani mengeluarkan kebijakan yang belum pernah dikeluarkan oleh pendahulu-pendahulunya,” kata Bambang.
Banyak faktor menjadi penyebab Karhutla, namun yang paling mendasar adalah ‘obral izin’ di pemerintahan sebelumnya yang mengakibatkan alih fungsi lahan gambut. Selama tujuh periode kabinet pemerintah, izin yang dikeluarkan mencapai 42.253.234 ha.
Data rekapitulasi pelepasan kawasan hutan, izin terbesar terjadi sepanjang periode 2005-2014, sebelum Presiden Jokowi menjabat. Izin yang diberikan ‘jor-joran’ itu semakin diperparah dengan lemahnya penegakan hukum, hingga ketidaksiapan pemerintah saat titik api sudah meluas.
”Khusus di Kalteng bahkan ditemukan ada perusahaan perkebunan sawit puluhan ribu ha justru berdiri di atas kawasan hutan bahkan mereka sudah sejak awal melakukan penyiapan lahan dengan pembakaran. Inilah bukti bahwa terjadi pembiaran dan lemahnya penegakan hukum di pemerintahan sebelumnya,” ungkap Bambang.
Barulah pada pemerintahan Presiden Jokowi, berbagai izin di lahan gambut dimoratorium. Dan proses hukum karhutla benar-benar ditegakkan hingga berani menjerat korporasi besar yang lalai. Bahkan kasus Karhutla di Kalteng tahun 2015, sudah ada yang diputus di pengadilan.
”Belajar dari Karhutla 2015, Presiden Jokowi langsung mengambil langkah cepat dan tegas. Itu harus kita akui, bahwa terjadi perubahan besar-besaran dalam menangani Karhutla di Indonesia,” kata Bambang.
Baca Juga:
Kasus Kebakaran Hutan di Kalteng, Pemerintah Kasasi di Mahkamah Agung
Gugatan yang dilayangkan kepada pemerintah atas nama Presiden Jokowi dan enam pihak lainnya di PN Palangkaraya kata Bambang, sebenarnya gugatan dari kegagalan pemerintah sebelumnya, karena di masa Jokowi justru sudah banyak terjadi perubahan.
”Kalau mau jujur dari 12 tuntutan yang diajukan itu, tepatnya sebelum gugatan dikabulkan PN pada Maret 2017, sebagian besar sebenarnya sudah dipenuhi. Sudah banyak langkah berani pertama dan belum pernah dilakukan sebelumnya oleh pemerintah,” tegas Bambang.
Dimulai dari SE-Menteri LHK nomor 495/2015, PermenLHK 77 tahun 2015, dilanjutkan pada Januari 2016, Presiden mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) No.01 tahun 2016 terkait pembentukan Badan Restorasi Gambut (BRG) untuk merestorasi areal gambut terbakar 2015.
Kemudian lahir kebijakan bersejarah, yakni PP 57 tahun 2016 tentang tata kelola gambut yang menjadi awal pondasi moratorium pembukaan gambut baru, termasuk di dalamnya penghentian seluruh aktivitas di areal gambut pada izin yang lama.
Selanjutnya lahir PermenLHK nomor 32 tahun 2016, PermenLHK terkait pengelolaan dan pemulihan gambut nomor 14 sampai dengan 17 tahun 2017. Hingga PermenLHK nomor 9 tahun 2018 tentang siaga darurat kebakaran, serta keseriusan penegakan hukum yang untuk pertama kali baru berani menyasar korporasi secara tegas.
”Fakta ini semua menegaskan bahwa di era Presiden Jokowi Karhutla ditangani dengan sangat serius, bahkan penanganannya dilakukan secara sistematis dan terencana,” tegas Bambang.
Penanganan Karhutla secara menyeluruh tersebut kata Bambang, telah membawa hasil signifikan. Jumlah titik api menurun hingga 85 persen, Indonesia akhirnya untuk pertama kali bisa bebas bencana Karhutla dan asap secara nasional pada tahun 2016 dan 2017 lalu, dan tidak ada asap lintas batas ke negara tetangga setelah biasanya rutin terjadi hampir dua dekade.(rls)
Leave a Reply