Analisis Berita M.Dahlan Abubakar
Tokoh Pers versi Dewan Pers
Jurnal8.com| Setelah saya menurunkan tulisan panjang berkaitan dengan kasus penangkapan salah seorang wartawan dalam kasus pemberitaan yang menyorot Pemerintah Kabupaten Enrekang berjudul “IRONI HARI PERS NASIONAL 2021”, ternyata mendapat banyak perhatian. Ketika menulis catatan tersebut, saya mencoba mencari berita yang membuat wartawan itu dibekuk polisi.
Syukur dan terima kasih kepada rekan Asnawin Amiruddin yang kemudian mampu memenuhi keinginan saya membaca berita yang “bermasalah” tersebut. Saya nekat mencari berita tersebut, selain atas dorongan Bang Ilham Bintang selaku Ketua Dewan Kehormatan PWI Pusat, juga ingin “membedah”-nya.
Apa dan bagaimana berita itu hingga bermasalah. Judul berita “Pemda Enrekang alami Defisit Anggaran Rp 78 M, Pemuda: Anggaran Covid-19 Dikorupsi, Honor Tenaga Medis Selama 6 bulan Tidak Terbayarkan”. Judul berita ini jika dibedah dengan catatan analisis wacana kritis, sangat bombastis.Frasa “Anggaran Covid-19 Dikorupsi” merupakan bentuk “trial by the press”, vonis oleh pers. Kekuatan judul berita ini bagaikan palu godam dibandingkan batang tubuh berita itu sendiri.
Seperti saya tulis beberapa waktu yang lalu, bahasa bagi seorang wartawan merupakan senjata, sementara kata adalah pelurunya. Hati-hati menggunakan senjata dan melepaskan pelurunya. “Peluru:” yang bernama “Dikorupsi” pada judul berita ini dapat mematikan seseorang dari sisi karakter dan secara psikologis maupun imej. Itu satu.
Kedua, berita yang diturunkan media X (saya tidak mau menyebut nama medianya) pada bagian awal merupakan “kloning” (maksudnya, diambil) dari media lain. Tidak ada pelanggaran etika jurnalistik dalam pemberitaan yang dikutip tersebut. Pada sisi ini berita dengan judul itu aman.
Ketiga, muncul nama seorang RWP yang mengatasnamakan dirinya sebagai pemerhati pemerintahan Kabupaten Enrekang. Sebagai pemerhati haknya berbicara dijamin oleh undang-undang. Di dalam komentarnya sang pemerhati ini melontarkan dugaan yang intinya telah terjadi tindakan rusuah (korupsi) di lingkungan pemerintah daerah tersebut.
Menurut saya, terjadi opini berganda dengan adanya frasa “sekadar diketahui….”. Di dalam karya jurnalistik ada sejumlah diksi (pilihan kata), frasa (gabungan dua kata atau lebih yang bukan predikat, seperti “gunung tinggi, makan malam, dsbnya), dan klausa (satuan gramatikal yang mengandung predikat dan berpotensi menjadi kalimat) yang dapat dikategorikan sebagai opini sang wartawan. Penggunaan diksi, “memang, rupanya, agaknya” mencerminkan opini sang pembuat berita. Begitu pun dengan frasa “sekadar diketahui, dapat ditambahkan,” dan klausa “Sudah dapat diduga..” dikategorikan sebagai opini dari sang wartawan atau penulis berita.
Rincian unsur bahasa yang berbau opini di dalam karya jurnalistik mungkin jarang diberikan oleh para pelatih pendidikan pers, terkecuali membaca teori “critical discourse analysis” (analisis wacana kritis) dari beberapa penemu teori kebahasaan.
Dalam praktiknya, penggunaan diksi, frasa, dan klausa seperti yang saya sebutkan itu, memang sering dijumpai dalam karya jurnalistik. Tetapi, biasanya banyak ditemukan pada genre karya jurnalistik “feature” atau tajuk rencana. Di dalam majalah yang menganut “style” penulisan bergenre “literary journalism” (jurnalisme sastra), penggunaan diksi, frasa, dan klausa seperti itu sah-sah saja karena tidak memiliki kecenderungan “mencederai” seseorang atau satu pihak.
Misalnya saja, “Agaknya dia kelelahan ketika saya tiba, sehingga pulas sampai larut malam”. Ini hanya diksi yang berfungsi sebagai deskripsi situasi agar tulisan itu sedikit “genit”. Ha..ha.. Maaf saya “out of context” (ke luar konteks).
Keempat, ternyata pemerhati pemerintahan yang bernama RWP itu juga merangkap sebagai wartawan. Akibatnya, dia tinggal bersalin “busana” agar berbeda, saat memberi komentar selaku pemerhati dan menulis berita dengan memakai baju jurnalis. Produknya, muncullah berita dengan judul yang saya komentari ini.
Jika merujuk pada Kode Etik Jurnalistik (KEJ) tindakan RWP melanggar pasal 4 yang berbunyi “Wartawan tidak menyalahgunakan profesinya dan tidak menerima imbalan untuk menyiarkan dan tidak menyiarkan karya jurnalistik yang dapat menguntungkan atau merugikan seseorang atau sesuatu pihak”. Yang bersangkutan menyalahgunakan profesinya dengan memanfaatkan predikatnya sebagai pemerhati dalam melaksanakan dan menghasilkan karya jurnalistik.
Masalahnya dengan banyak oknum yang merangkap sebagai anggota Lembaga Swadaya Masyarakat tetapi juga sebagai wartawan. Dua predikat ini “saling bersinergi”.
Dia juga melabrak pasal 9 yang berbunyi,”Wartawan menempuh cara yang profesional, sopan dan terhormat untuk memperoleh bahan karya jurnalistik dan selalu menyatakan identitasnya kepada sumber berita, kecuali dalam peliputan yang bersifat investigatif”.
Konteksnya cukup jelas karena yang bersangkutan memanfaatkan komentarnya selaku pemerhati sebagai bahan berita. Jadi, kita dapat bayangkan, pemerhati, wartawan, dan pembuat berita menyatu dalam satu sosok.
Kelima, semua tuduhan yang dikomentari sang pemerhati, tidak segera dikonfirmasi lagi ketika dia sudah berubah predikat sebagai wartawan hingga berita ini muncul di media daring.
Ini jelas-jelas pelanggaran KEJ tentang kewajiban wartawan membuat berita berimbang. Padahal, berkaitan dengan seluruh komentarnya harus dikonfirmasi lagi kepada para pihak yang disebutkan itu untuk memperoleh informasi penyeimbang.
Jika kita berbicara berita yang berimbang, tidak saja berkaitan dengan peliputan kedua sisi (“both side coverage”) atau konfirmasi, tetapi juga harus memenuhi parameter ruang dan waktu.
Indikator keberimbangan dari segi ruang ini berlaku pada media cetak dan daring. Tolok ukurnya di media cetak dan media daring, ruang yang disediakan untuk masing-masing pihak harus seimbang jumlah dari sisi “space” (maksudnya, tempat atau kolom dan panjang berita). Sehingga, dari ukuran apa pun tidak ada yang keberatan dan merasa tidak adil.
Untuk media audio visual (elektronik) “ditakar” dari segi durasi, lama waktu siar yang disediakan bagi para pihak. Mereka harus memperoleh lama waktu siar yang sama, sehingga dianggap cukup adil.
Ada lagi keberimbangan dari aspek penggunaan bahasa. Keberpihakan seorang wartawan dapat diselisik (bukan ditelisik), disingkap dari sisi diksi, frasa, dan klausa yang dipilihkan atau digunakan untuk menarasikan atau membahasakan pernyataan-pernyataan para pihak.
Saya selalu meng-sekak seorang wartawan yang bertanya kepada saya tetapi bernada dan mengindikasikan kurang nyaman. Dalam teknik wawancara diajarkan, ciptakan suasana nyaman dan menyenangkan dengan nara sumber.
Jangan membuat narasumber berada di bawah tekanan, jangan mendebat narasumber, dan lain-lain.
Ilmu jurnalistik seperti ini saya harus sampaikan agar ada amunisi ilmu pengetahuan dan wawasan baru sebagai modal dalam kerja-kerja jurnalistik kita. Yang menjadi masalah adalah tidak tersedia forum yang terencana dan teragenda untuk membagikan wawasan seperti ini.
Organisasi profesi kita mestinya menjadi fasilitator untuk kegiatan seperti ini.
Sebagai seorang yang menggeluti jurnalistik secara teori dan praktik serta meneliti penggunaan bahasa media berkaitan dengan keberpihakan media dalam pemberitaan, disarankan kepada insan pers agar menghindari praktik kerja jurnalistik seperti yang saya “bedah” ini.
Cara ini justru menjerumuskan penyalahgunaan profesi wartawan berkedok sebagai satu predikat yang lain. Modus pemberitaan seperti ini berbeda dengan “menyamarkan” diri sebagai wartawan ketika peliputan investigasi.
Ya, saya kira cukup jelas. Silakan orang berkomentar dengan mencoba bersifat empati. Wartawan Y memosisikan diri menjadi bupati Z. Dan, bupati Z menjadi wartawan Y. Terasakan?, Sakitnya di sini..Tetap jaga kesehatan. Wassalam. (*).
Dahlan Abubakar
Leave a Reply