“Ketika Media Tanpa Badan Hukum Menghadapi Tuduhan: Kasus St Arwati dan Ujian Integritas Jurnalisme”

Jurnal8.com| Makassar, -Dalam dunia jurnalisme, kebenaran dan keakuratan adalah dua pilar utama yang harus ditegakkan. Namun, kasus terbaru melibatkan St Arwati, istri dari ketua Hijab, telah mengungkap tantangan yang dihadapi ketika media yang tidak berbadan hukum melaporkan berita yang mengancam reputasi seseorang. Kasus ini memberikan sorotan baru pada pentingnya regulasi media dan perlindungan hukum bagi individu yang merasa dirugikan.

Berita yang Memicu Kontroversi

St Arwati, yang saat ini sedang berduka atas meninggalnya kakak iparnya di Kompleks Perwira Bungaya Mappaodang, Kota Makassar, mendapati dirinya menjadi pusat pemberitaan negatif. Berita yang diterbitkan oleh beberapa media tergabung di Hijab menyebutkan bahwa Arwati melakukan ujaran kebencian. Namun, Arwati mengklaim bahwa pesan yang tersebar merupakan kritik pribadi kepada pengurus Hijab, bukan bentuk ujaran kebencian.

Arwati merasa kecewa karena pemberitaan ini menyudutkannya tanpa konfirmasi, menambah kesedihannya saat berduka. Ia mengungkapkan bahwa kritiknya adalah upaya untuk memperbaiki kode etik di Hijab dan bukan untuk merusak nama baik siapapun.

Regulasi Media dan Tantangan Integritas

Masalah ini semakin rumit dengan fakta bahwa beberapa media yang memuat berita tersebut tidak mencantumkan informasi mengenai badan hukum mereka. Farid Mamma SH., MH, menjelaskan bahwa menurut Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, setiap perusahaan pers harus berbentuk badan hukum Indonesia. Hal ini bertujuan untuk memastikan tanggung jawab, akuntabilitas, dan perlindungan hukum bagi wartawan serta publik.

Perusahaan pers yang tidak berbadan hukum tidak terdaftar di Dewan Pers, yang berarti mereka tidak mengikuti standar jurnalistik yang ditetapkan. Hal ini menimbulkan risiko besar karena informasi yang disebarkan dari media semacam ini sering kali tidak terverifikasi dan tidak terjamin akurasinya.

Dampak Hukum dan Perlindungan Hukum

Dalam kasus Arwati, media yang tidak berbadan hukum berpotensi menyebarkan berita yang dapat merusak reputasi seseorang. Karena media ini tidak terdaftar di Dewan Pers, tindakan hukum terhadap mereka menjadi lebih rumit.

Pihak yang merasa dirugikan dapat menempuh jalur hukum baik secara pidana maupun perdata. Menurut Pasal 310 KUHP dan UU ITE Pasal 27 Ayat (3), individu yang merasa dirugikan dapat melaporkan kasus ini kepada kepolisian atau mengajukan gugatan perdata untuk menuntut ganti rugi.

Namun, media yang tidak berbadan hukum tidak memiliki perlindungan dari Dewan Pers, sehingga mereka bisa dikenakan sanksi hukum secara langsung oleh pihak yang merasa dirugikan.

Langkah-langkah seperti pelaporan ke Kominfo dan permintaan hak jawab juga bisa dilakukan untuk menanggapi pemberitaan yang dianggap merugikan.

Kesimpulan dan Harapan

Kasus St Arwati menyoroti pentingnya regulasi yang ketat bagi media untuk menjaga integritas jurnalisme. Media yang tidak berbadan hukum berpotensi menimbulkan risiko penyebaran informasi yang tidak akurat dan merugikan.

Dalam menghadapi situasi seperti ini, penting bagi masyarakat dan individu untuk memverifikasi keabsahan media yang menyebarkan informasi serta mengambil langkah hukum yang diperlukan untuk melindungi reputasi mereka.

Dewan Pers dan regulasi yang ada bertujuan untuk memastikan bahwa jurnalisme tetap berpegang pada standar etika dan profesionalisme.

Kasus ini mengingatkan kita semua akan pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam pemberitaan, serta perlunya langkah-langkah perlindungan hukum yang efektif untuk individu yang terkena dampak.

Dengan adanya informasi ini, diharapkan pembaca mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam mengenai kompleksitas dan tantangan yang dihadapi dalam dunia jurnalisme, serta pentingnya regulasi yang sesuai untuk menjaga integritas dan akuntabilitas media. (@tim)

 

 

 

Leave a Reply