Jurnal8.com| Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia ( BPK RI ) melakukan audit Penatausahaan dan Pengelolaan Persediaan di Satuan Kerja Tanggap Darurat Permukiman Pusat belum tertib administrasi.
Berdasarkan hasil pemeriksaan secara uji petik atas penatausahaan persediaan, konfirmasi dan pemeriksaan persediaan (stock opname) pada satker diketahui terdapat permasalahan Persediaan yang telah digunakan masih tercatat dalam nilai persediaan
Hal ini berdasarkan Hasil uji petik yang dilakukan BPK pada Gudang Regional Bekasi menunjukkan bahwa barang persediaan dari Gudang Regional Bekasi dikirimkan ke gudang regional lainnya maupun langsung ke lokasi bencana.
Proses pengelolaan persediaan secara umum pada saat bencana diawali pada saat Kepala Daerah/BNPB/Presiden mengeluarkan Surat Keterangan Penetapan Status Tanggap Darurat. Berdasarkan SK tersebut, Menteri PUPR c.q Dirjen Cipta Karya mendisposisikan SK tersebut kepada Kasatker Tanggap Darurat Permukiman Pusat untuk selanjutnya dibuat Surat Perintah Mengeluarkan Barang (SPMB) yang ditandatangani oleh Kasatker dan ditujukan kepada Petugas Gudang.
Selanjutnya Petugas Gudang mengeluarkan barang tersebut dan membuat surat jalan sebanyak tiga rangkap untuk Pihak Gudang, driver/ekspedisi, dan Penerima Barang, namun tidak menggunakan berita acara serah terima (BAST) persediaan. Setelah itu, Petugas BMN membuat daftar rekapitulasi barang keluar namun tidak dilakukan secara rutin untuk setiap transaksi. Selain itu, Petugas BMN juga tidak membuat pencatatan atas persediaan yang masuk ke dalam gudang.
Berdasarkan hasil pemeriksan fisik secara uji petik pada Gudang Bekasi diketahui bahwa terdapat 29 item barang persediaan yang berbeda antara hasil cek fisik BPK dengan stock opname/laporan persediaan. Pemeriksa tidak dapat meyakini mutasi tahun 2019 (1 Januari s.d. 19 Maret 2019) karena adanya perbedaan jumlah barang antara hasil pemeriksaan fisik BPK (11.200 unit) dengan laporan persediaan (12.977 unit) maupun dokumen pendukung mutasi barang selama Tahun 2019 (1 Januari s.d. 19 Maret 2019).
Sehingga Pemeriksa (BPK) tidak dapat meyakini saldo persediaan yang disajikan pada Neraca tanggal 31 Desember 2018 atas 29 item barang tersebut senilai Rp 10.326.806.898,00, Selain itu, karena tidak adanya pencatatan mutasi barang/buku persediaan selama 2018, maka perhitungan mutasi selama tahun 2018 yang dilakukan satker hanya berdasarkan saldo persediaan stock opname dikurangi saldo awal persediaan tahun 2018, tanpa melakukan cross check (uji silang) ke bukti pendukungnya. Sampai dengan pemeriksaan berakhir, perbedaan tersebut tidak dapat dijelaskan oleh Petugas BMN. Anehkan?
Permasalahan tersebut tidak sesuai dengan:
- Undang Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara Pasal 44 yang menyatakan bahwa Pengguna Barang dan/atau Kuasa Pengguna Barang wajib mengelola dan menatausahakan barang milik negara yang berada dalam penguasaannya dengan sebaik-baiknya;
- Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara pada Pasal 42: 1) Ayat (1) yang menyatakan bahwa Pengelola Barang, Pengguna Barang dan/atau Kuasa Pengguna Barang wajib melakukan pengamanan Barang Milik Negara/Daerah yang berada dalam penguasannya;
2) Ayat (2) yang menyatakan bahwa Pengamanan Barang Milik Negara/Daerah Sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pengamanan administrasi, pengamanan fisik, dan pengamanan hukum;
- Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP) dalam Pernyataan Nomor 05 tentang Akuntansi Persediaan:
1) Paragraf 4 yang menyatakan bahwa Persediaan adalah aset lancar dalam bentuk barang atau perlengkapan yang dimaksudkan untuk mendukung kegiatan operasional pemerintah, dan barang-barang yang dimaksudkan untuk dijual dan/atau diserahkan dalam rangka pelayanan kepada masyarakat;
2) Paragraf 13 yang menyatakan bahwa Persediaan diakui (b) pada saat diterima atau hak kepemilikannya dan/ atau kepenguasaannya berpindah;
3) Paragraf 14 yang menyatakan bahwa pada akhir periode akuntansi catatan persediaan disesuaikan dengan hasil inventarisasi fisik;
4) Paragraf 15 yang menyatakan bahwa persediaan disajikan sebesar: a) Biaya perolehan apabila diperoleh dengan pembelian; b) Harga pokok produksi apabila diperoleh dengan memproduksi sendiri; c) Nilai wajar, apabila diperoleh dengan cara lainnya seperti donasi/rampasan;
5) Paragraf 16 yang menyatakan bahwa pada akhir periode akuntansi, persediaan dicatat berdasarkan hasil inventarisasi fisik;
6) Paragraf 38 yang menyebutkan bahwa informasi dalam laporan keuangan bebas dari pengertian yang menyesatkan dan kesalahan material, menyajikan setiap fakta secara jujur serta dapat diverifikasi;
- Peraturan Menteri Keuangan Nomor 219/PMK.05/2013 tentang Kebijakan Akuntansi Pemerintah Pusat pada Lampiran VI Kebijakan Akuntansi Persediaan yang menyatakan bahwa Persediaan dapat dinilai dengan menggunakan dua metode yaitu FIFO dan harga perolehan terakhir.
- Instruksi Menteri PU Nomor 05/IN/M/2011 tanggal 13 September 2011, yang antara lain menyatakan bahwa: 1) II.1.1) Barang persediaan diperoleh dari hasil pengadaan atau perolehan lainnya yang sah wajib dilakukan penatausahaan dan pertanggungjawaban serta disimpan di gudang/tempat penyimpanan; 2) II.5.5) Setiap gudang/tempat penyimpanan dilengkapi dengan:
(a) Buku persediaan/kartu barang untuk setiap jenis barang dan (b) Kartu gantung barang yang digantung pada sarana penyimpan barang misalnya lemari, rak, filing cabinet, dll; 3) II.6.1) Pengamanan barang persediaan dimaksudkan untuk menghindari adanya kehilangan, kerusakan, dan bahaya kebakaran atas persediaan di gudang/tempat penyimpanan;
4) III.1.1) Stock opname bertujuan untuk menguji kesesuaian antara pembukuan barang persediaan dengan kuantitas fisik yang dilaksanakan dalam rangka akuntabilitas dan penatausahaan barang persediaan; 5) III.1.2) Stock opname sebagaimana dimaksud pada butir 1) dilakukan oleh kepala satker atau petugas yang ditunjuk dan dilaksanakan sekurang-kurangnya 2 (dua) kali dalam setahun yang hasilnya dituangkan dalam BA hasil Stock opname; 6) III.2.1) Penilaian barang persediaan dilaksanakan oleh kepala satker untuk mengetahui kondisi dan penetapan nilai barang persediaan.
- Lampiran Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan Nomor PER40/PB/2006 tentang Pedoman Akuntansi Persediaan BAB II mengenai Penatausahaan Persediaan yang menyatakan bahwa:
1) Persediaan dicatat dalam Buku Persediaan (dalam bentuk kartu) untuk setiap jenis barang. Berdasarkan saldo per jenis persediaan pada Buku Persediaan disusun Laporan Persediaan. Laporan Persediaan disusun menurut Subkelompok Barang dan dilaporkan setiap semester;
2) Buku Persediaan dibuat dalam bentuk kartu untuk setiap jenis (item) barang. Pada setiap buku persediaan dicantumkan kode dan uraian subsub kelompok barang;
3) Buku persediaan diisi setiap ada mutasi barang persediaan, seperti pembelian, hibah dan mutasi penggunaan barang persediaan;
4) Setiap akhir periode perlu diadakan inventarisasi persediaan untuk menentukan kuantitas dari setiap item persediaan dan selanjutnya buku persediaan disesuaikan berdasarkan hasil inventarisasi tersebut; 5) Buku Persediaan dikelola oleh petugas yang menangani persediaan.
Menurut BPK, Permasalahan tersebut mengakibatkan Tujuan pengendalian dan penertiban persediaan dalam upaya pengurusan barang milik negara secara fisik dan administratif belum tercapai dan Persediaan berpotensi hilang, disalahgunakan dan menyulitkan pencatatan. Atas permasalahan tersebut terjadi karena lemahnya pengendalian dari Kepala Satker terkait selaku Kuasa Pengguna Barang dalam menatausahakan persediaan.
(Sumber BPK)
Leave a Reply